Nenek Moyangku Seorang Petani
Setelah merantau, pemandangan pagiku bukan lagi jejeran kendaraan yang antri di jalan raya, bukan pula gedung pencakar langit atau beton-beton raksasa. Setiap pagi, aku menembus jalanan kota Yogyakarta, melewati ringroad demi mencapai Bantul. Di kota mungkin tak jauh berbeda dengan kotaku dulu, masih saja lalu lalang kendaraan bermotor yang aku lihat. Pemandangan ini kemudian berubah drastis seketika melewati ringroad. Mesin penggiling, simbah yang mengayuh sepeda onthel tua dengan caping, dan traktor adalah pemandangan yang lumrah. Ya, jelas saja, Bantul masih menjadi daerah pusat pertanian di provinsi ini, tak heran bila menuju kampus masih banyak sawah yang terhampar.
Pertanian masih menjadi sektor utama di daerah ini, sayangnya, tak ada regenerasi yang mumpuni. Ini hasil dari pengamatan saya. Setiap saya berpapasan dengan para petani, terlihat jelas usia mereka tak lagi muda. Berbeda dengan orang- orang yang saya temui saat di jalan raya, kebanyakan mereka masih terlihat muda, menyusuri daerah selatan menuju kantor di utara. Ya, mungkin demi meningkatkan taraf kehidupan.
Ironinya adalah ketika kita berjuang mati-matian menamatkan pendidikan setinggi-tingginya, orang tua kita terancam kehilangan lahan mereka, kehilangan tenaga mereka, tanah dan tenaga yang kemudian menghasilkan padi. Padi ini yang kemudian diolah menjadi beras, beras yang kita perjuangkan setengah mati, membanting tulang tak kenal waktu demi seliter beras di rumah. Kita sibuk mencari materi dan lupa memperjuangkan apa yang sebenarnya menjadi tujuan utama kita. Berdasarkan riset yang saya dan teman-teman lakukan setiap hari petani terancam kehilangan puluhan ribu hektar lahan pertaniannya, terancam kehilangan mata pencahariannya.
Kita lupa, negri kita yang kaya ini bukan saja bernenekmoyangkan seorang pelaut, nenek moyang kita pun seorang petani. Kita tak hanya negara maritim dengan kekayaan biota laut yang melimpah dengan puluhan ribu pulai yang tersebar, kita pun negara agraris, di mana kehidupan kita ditopang oleh sektor pertanian. Kita adalah negara agraris yang masih saja harus mengimpor beras demi memenuhi kebutuhan panganan pokok negara ini, ironi.
Saya sendiri memang bukan seorang petani atau mahasiswi jurusan pertanian, tapi setidaknya permasalahan pangan ini saya dan teman-teman bawa menjadi tema besar salah satu acara kampus kami untuk menyadarkan masyarakat. Kedekatan kehidupan keseharian kami dengan para petani yang membuat kami tergerak. Dan, saya sendiri adalah cucu dari seorang petani, dan saya bangga.
Sumber gambar: petani
Oleh Frida Sibarani (@fridaawrr)
Diambil dari https://racauankacau.wordpress.com/2015/09/15/nenek-moyangku-seorang-petani/