Seni Samulnori – Ketika Seni Berkolaborasi Dengan Hati
Aku sudah terlalu mengantuk namun kedua mata ini masih ingin menonton televisi. Beragam acara hiburan music pop terus menerus ditayangkan. Bergantian dari satu boyband ke girlband lainnya. Persaingan grup K-Pop menyuguhkan berbagai macam keunikan konsep dengan lagu pilihan berbalut tarian serempak yang luar biasa. Mata bentuk almond, hidung mungil nan mancung, rahang oval. Entah, aku sungguh tak bisa lagi mengatakan seperti apa arti cantik dan menawan bila disuguhkan rupa-rupa yang nyaris sama semua.
Musik mengalun dengan volume yang sengaja kupelankan. Dia di sampingku menemani menonton acara televisi yang sungguh bahasanya sedikit pun tak ku mengerti. Memandangi gerakan tarian yang begitu kompak, kostum yang sungguh memikat, namun tak membuat sedikit pun aku terpikat.
“Membosankan sekali tiap ganti channel, K-Pop di mana-mana tak ada habisnya.”
“Jangan salah. Tipikal orang Korea yang perfectionist membuat mereka menyajikan hiburan seni yang all out. Meskipun hanya sebuah grup K-Pop.”
Dia memeragakan tangan yang membentuk tanda kutip ketika menegaskan kata “hanya”. Ya, sudah bukan lagi rahasia bahwa personil K-Pop pada umumnya, setelah terpilih sebagai anggota akan dikarantina beberapa tahun sebelum siap naik ke atas pentas. Latihan demi latihan, vokal, tari, performance, cara menghadapi media, dan tentu sajaplastic surgery bila diperlukan.
“Mereka yang ganteng dan cantik cukup beruntung bisa ditarik menjadi anggota K-Pop.”
“Mereka yang dianggap tidak?”
Dia hanya bisa mengangkat bahu. Memang aku harus menunggu beberapa waktu ketika jawaban sebenarnya menjawab pertanyaan relungku. Malam masih belum berlalu. Kantuk sudah terlalu mengganggu. Dalam lelap kita hanya mampu tergagu.
***
Detik-detik pergantian tahun baru berlalu. Satu-satunya jalan keluar dari hiruk pikuk adalah menerobos lautan manusia yang masih memadati jalanan Jongno-gu. Para warga lokal masih setia di tempatnya seolah sedang menunggu sesuatu. Aku berjalan perlahan, melewati beberapa remaja berbaju seragam biru. Alat music tradisional perkusi di masing-masing tangan.
“Samulnori..samulnori..”
Sayup kudengar beberapa warga meneriakkan sebuah kata. Para remaja mulai bersiap membuncahkan riang, menyebarkan girang. Aku mulai berjalan pelan-pelan.
“Boleh kita berdiri di sini dulu?”
Masih berbalut penasaran tetapi dia mengangguk mengiyakan. Kami menantang suhu di bawah nol derajat, menjadi saksi suatu seni tabuhan dalam ritme yang saling bersahutan. Mereka tak berbalut kostum gemerlap. Hanya pancaran wajah penuh semarak suka cita atas tahun baru dan syukur akan setahun yang telah berlalu.
“Itu Janggu, gendang berbentuk jam pasir. Gong kecil itu namanya Kwaenggari, sedangkan yang besar disebut Jing. Lalu gendang besar itu namanya buk.”
Dia memberitahukanku di sela riuhnya suara perkusi. Janggu, kwaenggari, jing, dan bukyang melambangkan cuaca hujan, petir, angin, dan awan. Samulnori yang mempresentasikan konsep yin dan yang. Keseimbangan. Tarian dinamis dan enerjik berlanjut mengajak warga untuk bergabung membentuk barisan meliuk-liuk tanpa jemu. Seni merasuk dalam tiap sumsum warga ibukota. Menawarkan sejuta pesona berbeda dalam sorot lampu jalan raya. Pekerjaan yang dilakukan dengan hati meski terkadang dipandang setengah hati. Mereka sang pekerja seni bermutu tinggi. Karena berhasil menghipnotis seorang wanita yang terpaku hingga lupa diri.
***
Aku berjalan tergesa. Rasa takut mulai meraja lela. Suara beat box terus berdendang di belakangku dari seorang lelaki muda yang sibuk sendiri. Sebelumnya ada lelaki tua yang menari-nari sendiri bak berpasangan. Ketika lampu merah menghentikan langkahku sesaat akan menyeberang, lelaki paruh baya memandangiku dari bawah ke atas, tersenyum-senyum, lalu menyanyi-nyanyi entah lagu apa. Dan manusia sekitarnya semua tak ada yang peduli. Tak satu pun acuh. Tak seorang pun hirau.
“Sudah kubilang di sini seni menjadikan orang perfectionist. Menjadi robot yang bekerja dengan apik tetapi tak punya hati. Yang tak tahan dengan tekanan atau tak mampu bertahan, akhirnya yaah..tidak seimbang.”
Dia membaca pikiranku. Aku kembali tergagu. Kali ini tidak dalam lelap.
Jakarta, 15 September 2015
Diambil dari https://justcallmefrancessa.wordpress.com/2015/09/15/seni-samulnori-ketika-seni-berkolaborasi-dengan-hati/