Nasihat dari Tepi Jalan
Semua nyata hati pun terluka
Gerak ini telah terdiam hati t’lah tertoreh pisau yang keji
Semua nyata akankah kau percaya?
Sudah hampir satu tahun saya meninggalkan bangku kuliah dan selama itu pula saya merasakan jatuh-bangun mencari pekerjaan. Mencari pencaharian yang sesuai dengan minat di Kota Bandung bisa dibilang gampang-gampang susah. Saingannya banyak. Bahkan pekerjaan pertama saya pun bisa dibilang baru bagi saya, meski ada beberapa keterampilan yang saya kuasai dengan baik.
Dan, bicara tentang pekerjaan, ingatan saya kembali pada semester-semester akhir sebagai mahasiswi Sastra Inggris. Saat itu, saya mengambil peminatan Jurnalistik dan mendapat tugas mewawancarai figur unik untuk tugas Jurnalisme Sastrawi. Setelah observasi selama satu minggu, mata saya menangkap sosok tersebut berdiri di seberang jalan.
*

Namanya Pak Maman, dua tahun lalu berusia 65 tahun, dan bekerja di Bandung Trade Center (BTC) sejak tahun 2000.
Sosoknya sering saya lihat saat berkunjung ke pusat belanja tersebut. Mengenakan rompi berwarna oranye dan topi, Pak Maman berdiri di bagian depan gedung sambil memegang tanda STOP. Dia akan menghampiri pengunjung yang butuh bantuan menyeberangi jalan atau sebaliknya. Lalu lintas di Jalan Dr. Djunjunan memang terbilang ramai dan jembatan penyeberangan terdekat letaknya cukup jauh dari BTC. Jadi, orang-orang seperti Pak Maman sangat dibutuhkan di tempat itu.
Saya sempat grogi sebelum berhasil membuka percakapan pertama. Ternyata, Pak Maman mudah diajak mengobrol. Pembawaannya yang santai dan jenaka lambat laun melunturkan kegugupan saya. Kami memulai obrolan dengan pertanyaan dasar seperti berapa lama dia bekerja di sini dan jumlah gaji yang diterima setiap bulannya.
Obrolan semakin menarik saat saya menanyakan latar belakangnya. Pak Maman, yang tinggal tak jauh dari Jalan Dr. Djunjunan, punya latar belakang pendidikan dan pekerjaan yang mengagumkan. “Saya pernah kuliah di STHB (Sekolah Tinggi Hukum Bandung) dan kerja di Kimia Farma, tapi akhirnya saya ambil pensiun dini.”
Saya tercengang dan terus mengulik latar belakangnya. Pak Maman memiliki seorang istri yang berprofesi sebagai dosen Sastra Sunda di salah satu universitas negeri terkenal di Bandung. Dia punya tiga anak—dua laki-laki dan satu perempuan. Dua di antaranya sudah bekerja di Qatar (Qatar, I mean it) dan Jakarta. Sementara si bungsu baru kuliah di sekolah kedokteran.
Untuk menghidupi putra-putrinya sampai ke jenjang setinggi itu, tentu ada harga yang harus dibayar Pak Maman. Dia rela tidak melanjutkan S2 dan memilih untuk bekerja. Dia tidak mau anak-anaknya seperti segerombolan mahasiswa yang baru dia bantu untuk menyeberangi jalan—terlalu sibuk dengan ponsel pintarnya.
“Saya pernah tanya beberapa hal tentang hukum di Indonesia, tapi sebagian besar dari mereka tidak ada yang bisa jawab,” ujarnya miris.
Saya, yang masih penasaran dan kagum, membiarkan Pak Maman terus bicara.
*
Selain menjadi petugas penyeberang, Pak Maman juga punya sambilan sebagai pemandu turis di Hotel Topas. Dia dapat bicara dalam enam bahasa—termasuk Mandarin. Sampai ke topik tersebut, saya yang duduk di sampingnya mulai merasa sangat kecil.
“Bekerja itu harus rida karena Allah, Neng. Selama itu jadi pegangan, kita tidak akan malu apalagi takut,” kata Pak Maman saat saya tanya apa dia pernah merasa gentar saat menjadi petugas penyeberang.
Sebenarnya, saya ingin berbincang lebih lama. Satu jam rasanya tidak cukup. Kalau bukan karena awan mendung yang bergulung di atas kami, mungkin saya tidak akan pergi.
“Pesan saya mah, Neng, rajin belajar, jangan banyak main. Cepet lulus dan jadi orang sukses,” pungkasnya saat menyeberangkan saya ke depan gedung BTC.
Saya mengamininya dalam hati.
*
Dua tahun berlalu dan, sekarang, ada jembatan penyeberangan di samping gerbang utama BTC. Kendati zebra cross di jalan raya masih ada, saya ragu jika fasilitas itu masih dipakai. Dan, yang paling utama, saya penasaran apa Pak Maman dan dua rekannya yang lain masih dipekerjakan sebagai petugas di sana?
Saya mendapat jawaban tersebut saat mengunjungi BTC sebelum bulan Ramadan kemarin. Saya mencoba jembatan penyeberangan—yang tampak masih rapuh—dan menemukan sosok pria tua di ujung jembatan. Masih mengenakan rompi oranye dan topi, dengan segelas kopi hitam di tangan. Saya tidak tahu apa Pak Maman masih ingat atau tidak dengan saya, tapi saya lega luar biasa. Saya senang dia masih bekerja di sini.
Namun, saya terlalu gentar untuk menyapa dan hanya melempar senyum saat berpapasan dengannya.
*
Saya punya respek besar terhadap orang-orang seperti Pak Maman. Saya bukan orang religius, tapi saya percaya kalau rida dari Allah adalah segala-galanya—termasuk untuk bekerja. Maka, berkali-kali saya berusaha meluruskan niat untuk mencari pekerjaan baru.
Pun, saya bersyukur pernah dipertemukan dengan Pak Maman.
*
Inginan bisikan terdalam, celoteh gagak terdengar
Apakah kau kan percaya?
Semua t’lah usai tak terbayang, celoteh gagak terdengar
Daun dan Ranting menuju surga..
(Daun dan Ranting Menuju Surga – The Milo)
Ditulis oleh: @erlinberlin13
Diambil dari: https://erlinnatawiria.wordpress.com/2015/09/14/tentang-bandung-5-nasihat-dari-tepi-jalan/