Margonda, De Eerste Protestants Onderdaan Kerk
Kotaku bernama Depok. Sebuah kota yang akhirnya harus menjadi besar karena berbatasan langsung dengan ibukota negara, Jakarta. Kota yang seharusnya tenang karena, hey, bahkan bila kau tambahkan imbuhan pe- dan -an akan menghasilkan arti yang menenangkan, bukan? Menjadi tempat untuk menjernihkan pikiran atau bahkan untuk melakukan meditasi laiknya petapa yang mencari ilmu kebatinan.
Trivia: Depok sudah merdeka pada 28 Juni 1714, memiliki pemerintahan sendiri bahkan presiden yang dipilih setiap tiga tahun sekali oleh warganya.
Beban kotaku ini mungkin tidak seberat ibukota negara, namun percayalah, untuk masuk dan keluar Depok pada jam berangkat dan pulang kerja akan membuatmu sedikit frustasi. Hal yang sama pastinya berlaku bagi warga kota yang mengelilingi Jakarta, mereka harus melakukan commuting entah karena harus menuntut ilmu atau bekerja. Aku adalah salah satu yang melakukancommuting sejak Sekolah Menengah Atas karena kebetulan aku menuntut ilmu di Jakarta -sebenarnya ini terlalu dilebih-lebihkan karena sekolahku hanya terletak di Lenteng Agung, sebenar-benarnya perbatasan antara kota Depok dan kota Jakarta- sehingga aku harus menjalani kegiatan hilir mudik tersebut.
Dan tentu kalian tahu, atau kalaupun tidak pastilah pernah mendengar sebuah nama jalan yang hanya ditemui di kota Depok … Ya! Jalan Margonda. Jalan yang saat aku ketik di mesin pencarian Google hanya mengeluarkan satu hasil, jalan yang hanya dimiliki kota Depok. Jalan yang semua warga Depok yakini sebagai detak jatung kota, pusatnya. Di jalan ini kau bisa menemui markas besar pemerintahan kota Depok, Kepolisian Resor Kota, Terminal, dan Stasiun. Pusat perbelanjaan dari mulai Plaza Depok, ITC Depok, Depok Town Square, hingga Margo City berbagi alamat jalan yang sama, pun berbagai apartemen yang kini kian menjamur.
Aku ingat, setiap pagi aku menumpang mobil ayahku, yang bekerja di Jakarta, untuk mencapai sekolahku. Kami biasa mendengarkan siaran radio sambil sesekali berbicara mengenai pembicaraan yang tidak penting selama kami menelusuri jalan Margonda, lalu biasanya akan menjadi pembicaraan penting ketika melewati Universitas Indonesia, kampus yang selalu dibesar-besarkan sebagai kampus terbaik di Indonesia itu memang salah satu kebanggan kota Depok karena letaknya yang berada di wilayah administrasi kota kami. Ya, saat itu siapa yang tidak mau berkuliah di Universitas Indonesia? Saat jalur masuknya hanya punya satu nama, SPMB. Biasanya ayahku akan bertanya mengenai pilihan jurusanku, menanyakan apakah yakin dengan pilihanku, menanyakan apakah persiapanku cukup untuk menghadapi ujian. Sampai akhirnya aku benar-benar resmi menjadi mahasiswa di Universitas tersebut.
Maka hubunganku dengan Margonda tidak lagi menjadi sekadar pengguna, aku sepenuhnya terikat dengan Margonda. Kau tahu, saat aku harus mengerjakan tugas kuliah, maka kosan temanku di apartemen Margonda menjadi pilihannya, jika bosan kami akan pindah ke tempat-tempat makan sekitar, juga di jalan Margonda. Tugas yang berhubungan dengan digital printing? Perkara mudah untuk menemukan kios yang bisa membantu. Belum lagi saat kami ingin menonton film-film keluaran terbaru dengan harga hemat di Depok Town Square atau menghabiskan uang di Starbucks Margo City hanya untuk terlihat bergaya atau ditraktir di D’Cost ITC Depok oleh teman yang berulang tahun. Bahkan kami juga pernah mencari dana dengan mengamen di jalan Margonda.
Saat aku menuliskan ini, aku terkejut betapa banyak kenangan yang aku lalui bersama jalan Margonda.
Ah, ya, Margonda juga menjadi saksi di mana aku bergandengan tangan dengan kekasihku, dan menjadi tempat di mana kami berdua memutuskan hubungan. Tapi cerita yang itu, mungkin akan kuceritakan di lain waktu.
Diambil dari https://agastiazirtaf.wordpress.com/2015/09/01/margonda-de-eerste-protestants-onderdaan-kerk/