Penggalan Cerita

05:22 0 Comments A+ a-

Kita sedang terlarut dalam sentimentil hari ini. Perjalanan semalam dalam iringan deru roda besi dari Busan menuju Seoul membuat pelipis tak ingin jauh-jauh dari pundak tak jauh di sebelah. Terkadang kening ini dikecupnya seolah selalu berkata “Selamat malam, malam. Pagi sebentar lagi ada untuk tak ada lagi muram.”
Sengaja kita memilih Mugunghwa, kereta api kelas dua. Bukan KTX yang tersohor dengan kecepatannya. Alih-alih demi menghemat biaya, demi menikmati duduk dan berbicara lebih lama saja, menikmati kelambatannya. Seoul sedang mendekat, untuk kemudian hati merapat dalam suasana musim dingin yang begitu hangat. Aku bersamanya akan menulis cerita tentang sebuah kota. Kota yang senantiasa akan selalu mengikat erat memori di kepala. Tanpa kutahu bahwa Seoul pun sedang menulis cerita untuk kita, tentang kita.

Stasiun kereta Seoul menyambut dua manusia yang siap menggurat kisah. Pagi masih terlalu dini. Biru masih menaungi langit, malu-malu membiaskan jingga yang merona. Seoul di waktu pagi tak menawarkan hening. Khas kota besar ibukota di berbagai belahan dunia. Kita berjalan perlahan seolah menantang manusia-manusia cepat yang tak ingin membuang waktu. Aku bukan sedang membuang waktu dengan melangkah pelan-pelan. Aku hanya sedang memunguti waktu yang sempat tercecer percuma beberapa waktu lalu karena tak tahu sebenarnya apa mauku. Dan kini, dengannya, aku menggandeng waktu untuk berjalan bersama diantara. Menyediakan jeda ternyata tidak menjadi salah. Kalian yang suka mengolok-olok jeda, biar aku membela jeda. Karena jeda mengantarku kepadanya dengan hati lebih siap menerima.
Seoul dalam gigil dua puluh enam Desember dua ribu tiga belas tak akan pernah aku lupa. Seoul yang menawarkanku aman meski berjalan di kegelapan lorong sepi di dini hari atau malam sendiri. Seoul yang mengabulkan mimpiku dengan cara menyirami ubun-ubun kepala dengan butiran putih salju. Seoul yang juga menantang manusia yang berdiam di sana apakah masih mempunyai hati.
Malam itu, kita berjalan di sekitar Insadong-gil. Masuk ke gang-gang sempit membiarkan diri tersesat yang tak hanya sesaat. Menemukan kejutan sebuah taman kecil dan dinding-dinding penuh mural.
image
“Apa nanti kau akan pulang ke Indonesia?”
Aku sekadar bertanya dalam langkah kecil sepanjang dinding panjang. Berjalan di depan, tanpa melihat rautnya yang terus memperhatikan punggung belakang.
“Pasti. Seoul akan selalu punya cerita. Tetapi Indonesia akan menjadi tujuanku pulang.”
Aku menghentikan langkah. Membalik badan dan kini menatapnya lekat.
“Kenapa? Di Seoul mungkin karir bermusikmu akan lebih baik.”
Ada sunyi yang canggung seuntara sebelum akhirnya dia berbicara.
“Aku sudah berjanji pada diri sendiri. Jika aku diterima belajar musik di sini, aku akan pulang mengembangkan musik klasik di Indonesia. Meski aku tak tahu tak mudah, meski aku tahu tak banyak penikmatnya. Dan meski Indonesia dengan segala kesemerawutnya. Tetapi semua perlu waktu bukan?”
Seketika aku teringat beberapa bulan lalu ketika seorang lelaki tua menerawang dan menggumam kepadaku, perempuan asing yang baru dikenal beberapa menit sebelumnya. Sebuah pengakuan.
“Dia yang adalah anak saya, tidak akan pulang. Ada kepahitan di hatinya dulu, Tentang Indonesia. He’s a broken hearted man…until now.”
Dadaku sedikit sesak. Ada yang menyerah pada patah hatinya. Ada yang terus berupaya melekatkan patahan hatinya meski tahu tak akan pernah sempurna. Di sana, bendera terus berkibar bersama debar dada.
image
“Kamu juga akan tinggal di Indonesia bukan? Mana mungkin aku tidak pulang.”
Aku hanya tersenyum membalas kalimat terakhirnya.
Seoul sedang menceritakan cerita sepasang manusia. Ketika aku berkata bahwa ada hari-hari dimana kotaku bercerita, paling tidak ada sekelumit cerita kita di dalamnya. Cerita masih terus berlanjut di kota-kota berikutnya, namun kini bukan lagi di negara Korea, namun Indonesia.
Ini adalah penggalan cerita kita di kota Seoul, Korea. Kurasa..penggalan cerita di kota Bandung, Indonesia selanjutnya.
image

Oleh Francessa ()
Diambil dari https://justcallmefrancessa.wordpress.com/2015/09/30/patahan-cerita/

PosCinta. Powered by Blogger.