Tentang Pakuncen

00:01 0 Comments A+ a-

Hai, @Poscinta!

Demi kesetiaanku pada proyek setiap tahunmu, dan rasa cintaku pada kota kelahiranku; Jogja. Maka kupersembahkan barang sebait-dua bait tentang salah satu pusat ekonomi di kota ini. Mungkin aku tak akan menceritakan tentang Beringharjo yang menjadi sasaran wisatawan atau Giwangan yang menjadi pasar induk sayur terbesar. Namun akan kutulis sedikit tentang pasar yang justru jarang dilirik orang.


Pakuncen.



Tentang Pakuncen.

Ya, aku menyebutnya begitu.
Sebuah pasar yang berdiri kokoh sejak beberapa tahun silam itu tak pernah menunjukan kesan sepi. Ratusan motor berderet memenuhi halaman pasar, bahkan ada sebagian yang memenuhi bahu jalan. Jangankan orang-orang, terkadang aku saja heran dimana letak keistimewaan pasar itu dibanding pasar-pasar yang lain yang jelas lebih lengkap dan bagus.

Tapi sekali-dua kali aku kesana dengan teman perempuanku. Mungkin kalian akan berpikir –ini cewek nekat banget sampe pasar pakuncen- yang notabenenya banyak dikunjungi laki-laki.
 Tak masalah. Aku dan teman perempuanku tak pernah mempermasalahkan hal-hal yang justru tidak penting untuk didengar. Tapi barangkali kalian mencoba; telusurilah Jogja. Hidupmu tidak melulu soal mall dan pasar bergengsi.

Senja telah bergelut dengan semesta. Waktu kian memutar menjadi bayangan hitam di sudut-sudut langit. Tak terkecuali pasar Pakuncen. Aku bersama teman perempuanku masuk dengan sedikit ragu. Saling bertatapan, memastikan akan segera masuk.

Satu langkah, dua langkah hingga seterusnya kutelusuri. Berbagai teriakan untuk menawarkan barangnya kian menyeruak kedalam telingaku. Pasarnya bersih, jauh dari kesan pusat pejualan barang bekas, walau sesungguhnya memang begitu. Walau banyak anggapan barang yang dijual di pasar ini adalah barang hasil curian, karena pasar klithikan pakuncen berasal dari kata “klithih” yang berarti jalan santai dengan mata awas mencari barang yang sekiranya bias dicuri. Namun aku percaya, tak semuanya berarti seperti itu.

–Cari apa mbak?- berulang-ulang mungkin adalah sebuah rezeki bagi mereka. Sebuah tanggung jawab besar untuk keluarga mereka. Dan tak jarang kulihat senyum sumringah ketika satu-dua orang mengunjungi lapaknya.

Ketika barang yang dicari tidak ada, maka penjual akan kesana kemari mencarikan barang yang dicari dari lapak satu ke lapak lain. LUAR BIASA! Betapa simbiosis yang saling menguntungkan. Dari situ aku bisa belajar hidup dalam saling membutuhkan. Bekerja sama mencari sesuap nasi sama-sama. Tidak ada unsur saling menjatuhkan. Ah, Jogja memang berhati nyaman :’)

Aku bukan penggila barang elektronik dan segala printilan kendaraan seperti yang dijual-jual ditempat ini. Namun jika suatu saat aku diajak kemari, akan kusambut dengan senang hati. :'))

Berjalan sambil sesekali mencari pelajaran hidup.




Ditulis oleh @alveeolus

Diambil dari http://katafatamorgana.blogspot.co.id/2015/09/30harikotakubercerita-tentang-pakuncen.html?m=1

PosCinta. Powered by Blogger.