Si Monyong yang Nyaris Tinggal Nama
Dahulu moda transportasi ini pernah jadi primadona. Namun sekarang, keberadaannya nyaris tinggal nama. Apakah itu?
Bemo di kawasan Bendungan Hilir/Inilah.com |
Sebagian besar warga Jakarta pasti mengenal bemo alias becak motor. Selain opelet, angkutan umum yang satu ini memang sudah melegenda di ibu kota. Bentuknya khas dengan moncong di bagian depan. Sebab itulah ada warga yang menjuluki kendaraan buatan Daihatsu, Jepang ini Si Monyong. Jika dilihat sepintas, bemo mirip dengan bajaj karena sama-sama beroda tiga. Bedanya, ukuran bemo lebih besar sehingga mampu menampung penumpang lebih banyak. Idealnya, barisan depan diisi oleh sopir dan satu atau dua penumpang. Sementara bagian belakang dipasang bangku panjang berhadap-hadapan yang kira-kira mampu mengangkut 8-10 orang. Tiap kali dioperasikan, bemo menderukan suara yang tidak kalah berisiknya dengan bajaj.
Di tengah bermunculannya alternatif transportasi modern, ternyata bemo masih sanggup mempertahankan eksistensinya. Hanya saja, jumlah sopir bemo yang masih aktif beroperasi menurun drastis dari tahun ke tahun. Saat ini, bemo sangat mudah ditemui di area Bendungan Hilir (Benhil), Karet, Pejompongan, dan Tanah Abang. Puluhan bemo biasanya mangkal di area depan Pasar Benhil menanti penumpang setianya. Kebanyakan penumpang adalah pelajar atau pegawai kantoran di area tersebut.
Di tengah bermunculannya alternatif transportasi modern, ternyata bemo masih sanggup mempertahankan eksistensinya. Hanya saja, jumlah sopir bemo yang masih aktif beroperasi menurun drastis dari tahun ke tahun. Saat ini, bemo sangat mudah ditemui di area Bendungan Hilir (Benhil), Karet, Pejompongan, dan Tanah Abang. Puluhan bemo biasanya mangkal di area depan Pasar Benhil menanti penumpang setianya. Kebanyakan penumpang adalah pelajar atau pegawai kantoran di area tersebut.
Kendati rute yang dilewati terbilang pendek, bemo tidak pernah sepi penumpang. Maklum, tarif yang dipatok cukup murah. Kisarannya antara Rp 3.000 - Rp 5.000,- . Selain itu, tidak ada pilihan transportasi ekonomis lain bagi para penumpang untuk menjangkau area-area tersebut kecuali naik bemo.
Keberadaan bemo di Jakarta diawali sekitar tahun 1962 bertepatan dengan perhelatan Asian Games keempat. Kala itu, bemo didatangkan untuk menambah imej Kota Jakarta sebagai kota yang modern. Keberadaan bemo diharapkan mampu menggeser transportasi becak yang sedari awal dilarang beroperasi di jalan protokol. Semula, bemo berkonsep seperti taksi. Tapi, lama-kelamaan fungsinya menjadi seperti angkot yang memiliki trayek- trayek khusus.
Seiring berjalannya waktu, pada tahun 1996 Gubernur DKI Jakarta melarang peredaran bemo. Hal itu tertuang dalam Peraturan Daerah Khusus Ibu Kota Nomor 6 Pasal 2 ayat 6. Barangkali bemo tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman Meski begitu, tetap saja bemo masih beroperasi di wilayah-wilayah tertentu. Kondisi fisik bemo yang rata-rata berusia 50 tahun lebih ternyata masih kuat menopang beban kebutuhan warga akan transportasi umum.
Di kota-kota lain, seperti Surabaya, Bandung, dan Denpasar keberadaan bemo sudah benar-benar punah. Akankah di Jakarta juga akan diberanguskan juga? Berdasarkan sejarahwan JJ Rizal, sebetulnya aturan pelarangan bemo tidak harus dilakukan. Hal itu dikarenakan bemo sudah menjadi ikon ibu kota yang melegenda. Alangkah baiknya, jika bemo cukup dibatasi rutenya. Selain itu, bemo juga bisa diremajakan seperti halnya bajaj yang kini kelihatan lebih canggih dan rapi.
Oleh Fikri Angga Reksa ( @Iamfikry)
Diambil dari http://fikrilosophy.blogspot.co.id/2015/09/si-monyong-yang-nyaris-tinggal-nama.html