Sandekala

00:30 0 Comments A+ a-

We’re still remainded
Sometimes by a rain
But can’t no longer say
What it means



“Tong kaluar pas sareupna. Bisi ditéwak Sandekala.”

Siapapun yang lahir dan besar di Bandung pasti familier dengan mahluk ini: Sandekala. Termasuk saya. Namanya sering sekali disebut saat saya masih kecil. Kala malam datang beranjak, ibu atau nenek saya pasti akan cepat-cepat menarik saya ke dalam rumah dengan peringatan ‘Jangan lama-lama main di luar jam segini, nanti ditangkap sama Sandekala.’

Saat itu, saya tidak tahu wujud Sandekala seperti apa. Saya manut saja dan masuk ke dalam rumah sebelum maghrib. Kadang, saya sengaja mengintip dari balik jendela saat azan berkumandang. Bertanya-tanya apa mahluk itu sekarang sedang berkeliaran dan, kalau iya, bagaimana rupanya? Mengapa kehadirannya membuat orang tua saya panik?

Sampai beberapa tahun kemudian, saat saya sudah remaja, peringatan itu tidak pernah dilontarkan lagi. Saya juga sadar jika Sandekala hanya sekadar mitos. Mahluk itu konon digambarkan sebagai wanita berbadan besar, dengan wajah menyeramkan, yang kerap menculik anak-anak kecil. Jika anak-anak itu diculik Sandekala, mereka tidak akan pernah bisa pulang lagi ke rumah.

Namun, Sandekala memang ada. Dia bukan lagi sosok wanita menyeramkan dan tidak melulu menculik anak-anak kecil.

Sandekala kini melebur dalam kehidupan; memperdaya manusia dalam tipu muslihatnya.

*




Usia saya hampir 23 tahun dan masih tinggal bersama orangtua serta nenek dalam satu rumah. Sebagai anak pertama, saya selalu membawa kejutan, sekaligus pembelajaran baru bagi orangtua saya. Dan, sebagai anak pertama, ada sederet peraturan ketat yang harus dipatuhi demi menjaga keamanan saya di dalam maupun luar rumah.

Salah satunya adalah jam malam.

Saya harus pulang sebelum pukul sembilan malam*. [*) syarat dan ketentuan berlaku]

Awalnya, saya bisa patuh. Namun, melihat teman-teman saya yang bebas pulang tanpa jam malam lambat laun membuat saya sebal juga. Beberapa di antara mereka maklum, tapi ada juga yang menggoda saya. Saat mereka baru keluar pukul tujuh malam, di jam yang sama, saya malah harus pulang ke rumah.

Kadang, saya memberontak dan hal itu mengundang ayah saya untuk mengeluarkan wejangan selama berjam-jam. Saya pikir, apa salahnya selama saya bisa pulang dengan selamat?

Kekhawatiran orangtua saya nyatanya memang beralasan. Kami tinggal dengan nenek yang kurang bisa beradaptasi dengan kehidupan modern. Baginya, maghrib masih jadi patokan untuk masuk ke dalam rumah dan lewat dari jam itu, tidak boleh lagi ada yang keluar.

Satu hari, nenek pernah bilang, “Dulu mah orang-orang masuk rumah pas maghrib. Naha ayeuna (kenapa sekarang) mah baru pada keluar pas maghrib?”

Meski kami menjelaskannya berkali-kali, nenek tetap pada peraturannya sendiri dan tidak ada jalan selain mematuhinya.

*

Lalu, ucapan nenek malah melekat kuat di benak saya. Ya, kenapa? Memang sebagian pekerja akan pulang sekitar pukul lima atau enam sore. Sebagian lagi—entah kerja, dapat shift malam, atau sekadar hang out—memutuskan berkeliaran saat malam baru datang.

Kemudian, saya teringat dengan Sandekala.

Mungkin, dia masih ada. Dia masih hidup dalam ancaman para ibu yang ingin anak-anaknya segera masuk sebelum sore tiba. Di sisi lain, Sandekala menyaru dalam gaya hidup orang-orang kota. Dia menjadi gemerlap lampu-lampu malam; membius mereka yang masih terjebak di tengah perjalanan pulang.

Malam masih panjang, bisiknya, bagaimana kalau kita minum sebentar? Bukankah ada teman yang ingin kau kunjungi? Bukankah ada pujaan hati yang ingin kau tengok untuk memadu kasih?

Malam masih panjang. Tidak perlu pulang ke rumah sekarang.

Bermainlah bersamaku, sebentar saja.

*

Saya pernah bermain bersama Sandekala beberapa kali. Mengamati kehidupan Bandung di bawah langit malam bersama teman-teman. Bekerja di kafe favorit. Mendekap kekasih saya sebelum berpisah. Terjebak di tengah kerumunan konser.

Namun, semakin larut, semakin sering saya memikirkan nenek.

Dia biasanya tidak akan tidur sebelum semua anggota keluarga ada di rumah. Jika ayah atau ibu mengirim pesan dan menelepon, saya tahu itu artinya nenek mulai ketar-ketir. Maka, saya menjadi orang pertama yang beranjak dari meja saat berkumpul. Saya menjadi orang pertama yang mengakhiri kencan.

Saya menjadi yang pertama melepaskan cengkeraman dari Sandekala.

*

Sekarang, saya kembali ke rutinitas dulu. Hanya sesekali saya keluar sampai malam—itu pun tak pernah lebih dari pukul delapan. Saya tidak perlu ditakut-takuti Sandekala untuk masuk sebelum maghrib.

Saya hanya ingin meyakinkan nenek jika dia bisa tidur nyenyak, karena semua anggota keluarga sudah pulang ke rumah.

*

The sweet and golden dreams all vanished there
In every clime and every sun
The story is never told
White as a birch in the snow of a winter moon

(Solitude – Sarasvati)


Ditulis oleh: @erlinberlin13
Diambil dari: https://erlinnatawiria.wordpress.com/2015/09/17/tentang-bandung-6-sandekala/

PosCinta. Powered by Blogger.