Metro, Lampung Rasa Jawa

01:30 0 Comments A+ a-


Ketika kita berkunjung ke Pulau Jawa dan tahu bahwa kita berdomisili di Lampung, pertanyaan yang paling sering ditujukan kepada kita adalah ‘Sebelah mananya Metro?’. Begitu juga ketika kuliah di Jawa, khususnya di Yogyakarta, jika melihat plat motor BE (plat kode Lampung), biasanya akan disapa seperti ini; ‘Anak Metro ya?”

Sebegitu terkenalkah Metro dibandingkan kabupaten lain? Padahal Metro merupakan kota paling kecil dibandingkan kabupaten lain yang ada di Lampung. Mungkin karena lokasinya yang kecil dan penduduknya lebih sedikit dibandingkan dengan kabupaten lain, Metro lebih berkembang pesat karena administrasinya lebih teratur. Misalnya saja nih, untuk urusan kepegawaian, Kota Metro sudah memakai sistem absen via sidik jari/ muka dan gaji pun via ATM.  Beda halnya dengan kabupaten lain; absen masih manual yang gampang banget dimanipulasi dan gaji pun kudu ambil di bendahara instansi masing-masing. Dari situ saja sudah terlihat sekali perbedaan Metro dibandingkan kabupaten lainnya di Lampung kan?!? :D

Metro juga identik sebagai Kota Pendidikan. Dari jenjang Paud sampai Perguruan Tinggi pun komplit ada di Metro. Khusus untuk perguruan tinggi, selain banyaknya jurusan pendidikan yang tersedia, ada juga perguruan tinggi khusus olahraga. Perguruan tinggi khusus olahraga ini, untuk di Sumatera hanya ada dua; di Medan dan di Metro. Keren kan? ;)

Metro juga identik dengan suku Jawa. Jika kita ke pasar, percakapan antara pembeli dan pedagang menggunakan bahasa Jawa. Kenapa bisa begitu? Karena 70% warga Metro memang bersuku Jawa. Tidak hanya itu, daerah-daerah yang ada di Metro pun mengadopsi nama-nama daerah di Pulau Jawa; Banjarsari, Wonosari, Magelangan, Purwosari, dan lain-lain. Setiap daerah, menggunakan angka untuk sebutan daerahnya. Misalnya tempat saya tinggal yaitu daerah 28 Purwoasri. Tempat saya bekerja daerah 16a Mulyosari. Angka-angka tersebut bukan nomer rumah, tapi penyebutan nama daerah.

Ada cerita tersendiri kenapa Metro identik dengan segala hal beraroma Jawa. Dulu, sekitar tahun 1936, ada semacam transmigrasi besar-besaran dari Jawa ke Lampung. Dulu namanya program kolonisasi. Mulanya lokasi kolonisasi berada di Gedongwani-Sukadana. Namun tidak berjalan baik. Ratusan keluarga kolonis itu kemudian dipindahkan ke lokasi lain, yaitu di Gedongdalem.

Menurut buku yang memuat sejarah Metro, daerah baru berupa bedeng-bedeng dan lahan pertanian yang ditempati pendatang asal Pulau Jawa itu dinamai Metro. Nama Metro diambil dari kata ‘mitro’ (bahasa Jawa) yang berarti saudara atau teman. Namun, versi lain menyebutkan Metro berasal dari kata ‘meterm’ (Bahasa Belanda) yang berarti pusat atau sentral.

Karena pertumbuhannya yang cepat, tahun 1937, Metro dijadikan tempat kedudukan Asisten Wedana dan sebagai pusat pemerintahan Onder District Metro. Kemudian pada tahun 1945-1956, Metro menjadi sebuah kawedanan, masuk Kabupaten Lampung Tengah. Dua belas tahun kemudian, tepatnya 27 April 1999 kota yang memiliki luas 68,74 km2 ini menjadi kota yang berdiri sendiri. Sampai sekarang, Metro baru memiliki dua walikota; yang pertama sekali pemerintahan dan yang kedua dua kali masa jabatan. Di akhir Agustus tahun ini, Kota Metro tidak memiliki walikota sampai pilkada nantinya.

Pembangunan Kota Metro memang tidak bisa dipisahkan dari peran pemerintahan Belanda melalui penerapan program kolonisasi. Warga Metro memiliki sejarah kebersamaan yang panjang. Bukan hanya kebersamaan antara sesama pendatang dari Pulau Jawa, tapi juga kebersamaan antara warga pendatang dan penduduk asli. Nilai-nilai kegotongroyongan masih menjadi bagian sangat penting bagi warga Metro. Poin inilah yang sepertinya harus diikuti kabupaten lain di Lampung jika ingin maju, dinamis dan berkembang seperti Metro ;)

Ditulis Oleh: @luckytgs
Diambil Dari: http://catatanluckty.blogspot.co.id/2015/09/30harikotakubercerita-metro-lampung.html

PosCinta. Powered by Blogger.