Lalu Lintas Kenangan
I know that you’re very nice
Never ever tell me lies
You’re always there to comfort me
And cheer me up when I am down

Selalu ada alasan untuk jatuh cinta di Kota Bandung.
Entah dengan keramahan orang-orangnya, tempatnya, atmosfernya, makanannya…. Setiap orang menorehkan kisah dan menyimpan kenangannya di sudut yang berbeda. Mungkin, di sebuah ruangan kelas saat dia duduk di bangku SMA. Mungkin, di sebuah pohon tua yang terletak di pusat kota.
Bagi saya, memori-memori itu terpatri dalam lalu-lintas Kota Kembang.
*

Saya lupa kapan kebiasaan itu dimulai, tapi ingatan paling jelas mengatakan saya mengawalinya sejak di bangku kuliah. Ketika itu, saya jatuh cinta, lalu patah hati dalam hitungan bulan. Saya tidak pernah mengencani pria-pria ini, karena, katakanlah, saya hanya memuja mereka secara diam-diam.
Kemudian, begitu tahu mereka sedang kasmaran dengan gadis lain, kebiasaan ini muncul. Saya menjadi sensitif terhadap jalan-jalan yang pernah saya—dan kami—lewati. Rute-rute yang saya ambil untuk bertemu demi sebuah kencan. Saya jadi amat emosional dan, tidak tahu malu, menangis di pojok angkot.
Jalan Merdeka menjadi saksi bisu dari sebagian besar kegagalan kisah asmara saya. Di sana, saya pernah menghabiskan waktu bersama pria bermata indah pada malam-malam cerah. Tanpa sadar diserang Cupid setelah menonton film dengan teman dari satu jurusan. Atau sekadar mengingat kembali bagaimana saya bisa terpikat dengan si berengsek sambil mengamati padatnya kendaraan dari jembatan penyeberangan.
Dan, kendati lalu-lintas di Bandung semakin padat, saya belum merasa bosan untuk menikmatinya. Ketika lengang—dan cukup waras untuk tidak terbawa perasaan—saya menghabiskan waktu di jalur pedestrian sambil melihat mobil dan motor lalu-lalang. Masa-masa seperti itu adalah waktu terbaik saya menjadi diri sendiri.
Sebab, bukankah jatuh cinta kadang mengubahmu menjadi orang lain?
Termasuk saat saya bertemu pria itu.
*

Sepanjang tahun 2014, saya benci setengah mati dengan Jalan Ir. H. Djuanda. Kami lebih suka menyebutnya dengan Dago. Sebisa mungkin, saya mengambil rute lain saat tahu tempat tujuan saya harus melintasi Dago. Tidak apa-apa meski jauh, yang penting saya bisa menghindar. Tapi, dalam beberapa situasi, saya terjebak dan tidak bisa bergerak ke mana-mana.
Karena, di sanalah kami menyimpan semua kenangan itu.
Di tengah-tengah kemacetan Dago, kami bertukar cerita. Bagaimana dia akan menghadapi ujian Public Speaking. Bagaimana saya magang sebagai asisten editor saat itu. Bagaimana punggungnya sangat mengintimidasi otak saya. Bagaimana saya diam-diam berharap kemacetan ini berlangsung selamanya, agar kami tidak lekas berpisah.
Nyatanya, kami memang sudah berpisah.
Maka, saat melewati trotoar di Dago, saya kadang berhenti. Di minggu-minggu pertama, saya berusaha mati-matian untuk menyembunyikan air mata yang kerap mengalir. Saya terdistraksi cepat kala melihat seorang pria yang mengendarai skuter di jalan. Di tengah keriuhan malam di Dago, saya menjadi orang yang amat kesepian.
Monsieur*, gumam saya, kapan ini akan berakhir?
*
Kadang, saat berpikir saya sudah tak mampu, saya ingin meninggalkan Bandung. Namun, sebelum sempat melakukannya, dia yang angkat kaki duluan.
Meski belum sembuh total, saya sudah sanggup menyusuri Dago. Menyeberangi jalan tanpa khawatir terganggu pria berskuter. Misuh-misuh di lampu merah Simpang Dago. Bertemu teman-teman di salah satu kafe yang berjejal di sana. Rindu itu masih ada; menguar kembali setiap kali saya menatap lalu-lintas yang pernah kami lewati bersama.
Apa dia juga memikirkan hal yang sama?
*

Selalu ada alasan untuk jatuh cinta kembali di Kota Bandung.
Bagi saya, waktunya bukan sekarang. Pun, itu menjadi alasan saya untuk tetap tinggal di kota ini.
*
Sorry honey, my heart is not for you
Sorry baby this love is not for you
Sorry honey, my heart is not for you
Sorry baby this love is not for you
It’s over now
*) Monsieur adalah sebutan tuan dalam Bahasa Prancis
Ditulis oleh: @erlinberlin13 Lalu Lintas Kenangan
Diambil dari: https://erlinnatawiria.wordpress.com/2015/09/20/tentang-bandung-7-lalu-lintas-kenangan/