Kau Jawa dan Aku Sunda, bisakah kita menyatu?

00:48 0 Comments A+ a-

Kau Jawa dan Aku Sunda, bisakah kita menyatu?
Tangerang dahulu sebelum ada provinsi Banten merupakan wilayah Jawa Barat, jadi sebagian besar kami yang dilahirkan di sini termasuk dalam suku Sunda. Sahabatku pernah bilang, meski aku dibesarkan di lingkungan Betawi tetapi aku berdarah Sunda, karena ayahku orang Sunda. Lalu, dia melanjutkan lagi “Mitosnya sih orang Sunda ga cocok menikah dengan orang Jawa” aku terdiam menunggunya melanjutkan cerita. “Tapi, itu kan cuma mitos. Buktinya bokap gue sunda, nyokap gue jawa mereka tetap rukun sampai sekarang tuh.” Aku bertanya mengapa, tetapi ia tak memiliki jawab dan alasan yang bisa kuterima. Berhari-hari kusimpan tanya untuk diriku sendiri, tanpa berusaha mencari tahu melalui orang lain. Tiba saat aku memutuskan berhenti mencari jawaban, sebuah artikel yang melintas di beranda facebook berhasil menarik perhatian dan membangkitkan tanyaku lagi. Artikel itu berjudul “Tragedi Perang Bubat & mitos orang jawa dilarang kawin dengan sunda” dari merdeka.com. inilah sebagian isi artikelnya :

“Peristiwa Perang Bubat diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sunda. Konon ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri tersebut karena beredarnya lukisan sang putri di Majapahit, yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman pada masa itu, bernama Sungging Prabangkara.

Hayam Wuruk memang berniat memperistri Dyah Pitaloka dengan didorong alasan politik, yaitu untuk mengikat persekutuan dengan Negeri Sunda. Atas restu dari keluarga kerajaan Majapahit, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamar Dyah Pitaloka. Upacara pernikahan rencananya akan dilangsungkan di Majapahit. 

Maharaja Linggabuana lalu berangkat bersama rombongan Sunda ke Majapahit dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat. Raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit. 

Menurut Kidung Sundayana, timbul niat Mahapatih Gajah Mada untuk menguasai Kerajaan Sunda. Gajah Mada ingin memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta, sebab dari berbagai kerajaan di Nusantara yang sudah ditaklukkan Majapahit, hanya kerajaan Sunda lah yang belum dikuasai.

Dengan maksud tersebut, Gajah Mada membuat alasan oleh untuk menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat adalah bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit. Gajah Mada mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan pengakuan superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk sendiri disebutkan bimbang atas permasalahan tersebut, mengingat Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada saat itu.

Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan pasukannya yang berjumlah besar, melawan Linggabuana dengan pasukan pengawal kerajaan (Balamati) yang berjumlah kecil serta para pejabat dan menteri kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu. Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Raja Linggabuana, para menteri, pejabat kerajaan beserta segenap keluarga kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat. 

Tradisi menyebutkan sang Putri Dyah Pitaloka dengan hati berduka melakukan bela pati atau bunuh diri untuk membela kehormatan bangsa dan negaranya. Menurut tata perilaku dan nilai-nilai kasta ksatria, tindakan bunuh diri ritual dilakukan oleh para perempuan kasta tersebut jika kaum laki-lakinya telah gugur. Perbuatan itu diharapkan dapat membela harga diri sekaligus untuk melindungi kesucian mereka, yaitu menghadapi kemungkinan dipermalukan karena pemerkosaan, penganiayaan, atau diperbudak.”

Beberapa kali aku mendengar bahwa larangan itu disebabkan oleh perbedaan kultur antara suku jawa dan sunda. Orang jawa yang dinilai memiliki sifat nerimo dan pengalah, sementara orang sunda terlalu mendominasi. Ada juga yang bilang bahwa perempuan jawa itu manis, ayu dan mau diatur, sedangkan perempuan sunda susah diatur, boros dan matre. Sebagai perempuan sunda aku tentu sedih dengan pernyataan-pernyataan itu. Bukankah hal-hal seperti itu terlalu menggeneralisir dan memojokan satu suku.

Lalu bagaimana denganmu, Tuan? Kau lelaki Jawa tentu sedikitnya pasti ada pemikiran yang demikian, entah darimana datangnya. Ma(mp)ukah kau dan aku buktikan bahwa mitos itu tidak benar adanya? Sebab, bukankah semua kembali ke pribadi masing-masing. Dan bukankah iman lebih penting ketimbang tradisi dan mitos yang belum tentu benar adanya?


Tangerang dahulu sebelum ada provinsi Banten merupakan wilayah Jawa Barat, jadi sebagian besar kami yang dilahirkan di sini termasuk dalam suku Sunda. Sahabatku pernah bilang, meski aku dibesarkan di lingkungan Betawi tetapi aku berdarah Sunda, karena ayahku orang Sunda. Lalu, dia melanjutkan lagi “Mitosnya sih orang Sunda ga cocok menikah dengan orang Jawa” aku terdiam menunggunya melanjutkan cerita. 

“Tapi, itu kan cuma mitos. Buktinya bokap gue sunda, nyokap gue jawa mereka tetap rukun sampai sekarang tuh.” Aku bertanya mengapa, tetapi ia tak memiliki jawab dan alasan yang bisa kuterima. Berhari-hari kusimpan tanya untuk diriku sendiri, tanpa berusaha mencari tahu melalui orang lain. Tiba saat aku memutuskan berhenti mencari jawaban, sebuah artikel yang melintas di beranda facebook berhasil menarik perhatian dan membangkitkan tanyaku lagi. Artikel itu berjudul “Tragedi Perang Bubat & mitos orang jawa dilarang kawin dengan sunda” dari merdeka.com. inilah sebagian isi artikelnya : “Peristiwa Perang Bubat diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sunda. Konon ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri tersebut karena beredarnya lukisan sang putri di Majapahit, yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman pada masa itu, bernama Sungging Prabangkara.Hayam Wuruk memang berniat memperistri Dyah Pitaloka dengan didorong alasan politik, yaitu untuk mengikat persekutuan dengan Negeri Sunda. Atas restu dari keluarga kerajaan Majapahit, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamar Dyah Pitaloka. Upacara pernikahan rencananya akan dilangsungkan di Majapahit. Maharaja Linggabuana lalu berangkat bersama rombongan Sunda ke Majapahit dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat. Raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit. Menurut Kidung Sundayana, timbul niat Mahapatih Gajah Mada untuk menguasai Kerajaan Sunda. Gajah Mada ingin memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta, sebab dari berbagai kerajaan di Nusantara yang sudah ditaklukkan Majapahit, hanya kerajaan Sunda lah yang belum dikuasai. Dengan maksud tersebut, Gajah Mada membuat alasan oleh untuk menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat adalah bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit. Gajah Mada mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan pengakuan superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk sendiri disebutkan bimbang atas permasalahan tersebut, mengingat Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada saat itu. Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan pasukannya yang berjumlah besar, melawan Linggabuana dengan pasukan pengawal kerajaan (Balamati) yang berjumlah kecil serta para pejabat dan menteri kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu. Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Raja Linggabuana, para menteri, pejabat kerajaan beserta segenap keluarga kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat.Tradisi menyebutkan sang Putri Dyah Pitaloka dengan hati berduka melakukan bela pati atau bunuh diri untuk membela kehormatan bangsa dan negaranya. Menurut tata perilaku dan nilai-nilai kasta ksatria, tindakan bunuh diri ritual dilakukan oleh para perempuan kasta tersebut jika kaum laki-lakinya telah gugur. Perbuatan itu diharapkan dapat membela harga diri sekaligus untuk melindungi kesucian mereka, yaitu menghadapi kemungkinan dipermalukan karena pemerkosaan, penganiayaan, atau diperbudak.” Beberapa kali aku mendengar bahwa larangan itu disebabkan oleh perbedaan kultur antara suku jawa dan sunda. Orang jawa yang dinilai memiliki sifat nerimo dan pengalah, sementara orang sunda terlalu mendominasi. Ada juga yang bilang bahwa perempuan jawa itu manis, ayu dan mau diatur, sedangkan perempuan sunda susah diatur, boros dan matre. Sebagai perempuan sunda aku tentu sedih dengan pernyataan-pernyataan itu. Bukankah hal-hal seperti itu terlalu menggeneralisir dan memojokan satu suku. Lalu bagaimana denganmu, Tuan? Kau lelaki Jawa tentu sedikitnya pasti ada pemikiran yang demikian, entah darimana datangnya. Ma(mp)ukah kau dan aku buktikan bahwa mitos itu tidak benar adanya? Sebab, bukankah semua kembali ke pribadi masing-masing. Dan bukankah iman lebih penting ketimbang tradisi dan mitos yang belum tentu benar adanya?

Oleh Febby Dwi Lestari ()
Diambil dari http://fdwiles.tumblr.com/post/129341624141/kau-jawa-dan-aku-sunda-bisakah-kita

PosCinta. Powered by Blogger.