Huma Betang

01:35 3 Comments A+ a-

Huma Betang dalam bahasa Dayak Ngaju artinya rumah panjang. Yang memang menggambarkan fisik dari rumah khas suku Dayak ini. Panjang huma betang bisa mencapai 100an meter dengan lebar sampai 30 meter. Huma Betang biasanya berada dekat dengan sungai. Karena sungai adalah sumber penghidupan masyarakat Dayak, sebagai sumber air, sumber makanan, dan sarana transportasi pula.

Huma Betang

Biasanya masyarakat Dayak yang menetap di Huma Betang selain juga berburu untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka juga berladang dengan membuka lahan di hutan sekitar. Sistem ladang yang dilakukan biasanya adalah sistem ladang berpindah. Setelah musim panen selesai, lahan lama akan ditinggal dan dibuka lahan baru. Namun hutan yang akan dibuka lahan untuk bertani hanya kawasan hutan tertentu saja. Masyarakat Dayak memiliki hutan adat yang pengelolaannya diatur berdasarkan kesepakatan masyarakat adat. Ada hutan yang didapat dialihfungsikan untuk pertanian misalnya, ada hutan produksi, ada kawasan berburu, bahkan ada hutan yang sama sekali tak boleh disentuh. Masyarakat adat hanya akan membuka lahan di tempat yang disepakati sebelumnya. Biasanya mereka akan kembali mengolah ladang lama yang dulu ditinggalkan setelah 4 sampai 5 tahun kemudian. Memberi kesempatan bumi tanah untuk rehat sebelum digunakan kembali.

Huma Betang dihuni secara berkelompok sampai 100 jiwa yang terdiri dari beberapa keluarga. Huma Betang terdiri dari ruang luas yang digunakan sebagai tempat berkumpul bersama, upacara adat, bekerja (memahat, mengayam, dan sebagainya). Kemudian terdapat bilik-bilik yang merupakan ruang pribadi keluarga-keluarga yang tinggal di Huma Betang. Tinggi permukaan lantai Huma Betang antara 3 sampai 5 meter di atas permukaan tanah. Hal ini agar keselamatan penghuninya terjamin dari serangan hewan buas atau hewan liar juga dari datangnya banjir jika air sungai pasang. Huma Betang terbuat dari kayu yang kuat biasanya menggunakan kayu ulin (kayu besi) yang tahan terhadap iklim tropis yang panas namun lembab, serta tahan terhadap serangan rayap.

Biasanya terdapat Sapundu di halaman depan Huma Betang. Berupa tiang dari kayu yang kemudian diukir, semacam totem. Sapundu juga digunakan untuk mengikat binatang-binatang yang akan digunakan untuk upacara adat.

Sapundu

Upacara Tiwah adalah upacara menghantarkan roh leluhur dengan cara membersihkan sisa-sisa jasad dari liang kubur dan menempatkan tulang-belulang almarhum ke dalam Sandung. Sandung berupa rumah kecil yang berada di belakang Huma Betang.

Sandung


Dalam masyarakat Dayak tak mengenal raja, jadi organisasi kemasyarakatannya terutama di Huma Betang adalah kebersamaan, semuanya sama saja, aku adalah kamu[1]. Keputusan biasanya dilakukan berdasarkan kesepakatan. Walaupun memang tetap ada tetua atau semacam pemimpin di Huma Betang itu sendiri.

*

Tapi Huma Betang sudah jarang lagi ditemukan, memang masih ada di kampung-kampung sana di hulu sungai. Masyarakat Palangkaraya sekarang sudah tinggal seperti keluarga-keluarga lain pada umumnya, dalam satu rumah bersama keluarga inti.

Saya sendiri bersyukur di abad milenium ini masih bisa merasakan tinggal di ‘Huma Betang’ versi modern. Saya pernah tinggal 3 tahun di asrama saat SMU. Saya rasa tak jauh mungkin suasananya dengan Huma Betang, hanya saja kami tak perlu pergi ke sungai, berladang atau berburu lawan jenis untuk dijadikan gebetan makan. Tinggal datang saja ke ruang makan asrama saat sarapan, makan siang atau makan malam. Semua sudah tersedia tertata rapi di meja makan. Kadang berburu juga kami lakukan sekedar iseng mengisi kebosanan, berburu nenas atau pepaya atau singkong tanaman kepala asrama. Tak perlu ke sungai untuk mandi cuci, tersedia kamar mandi dan ruang cuci yang airnya mengucur langsung dari keran, yang semalaman sudah ditunggui kawan yang sedang piket memastikan setiap penampungan air sudah penuh terisi.

Kami bahkan tak tinggal tidur dalam bilik-bilik kamar seperti di Huma Betang, tapi sebuah bangsal luas yang berisi dipan-dipan susun dilidungin kelambu dari serangan gebetan yang pantang mundur mengirim pisang, coklat, es krim, atau setangkai mawar nyamuk dan serangga iseng. Tak perlu tetua adat untuk mengingatkan kesalahan yang kadang tak sengaja dilakukan, ada ‘provost’ yang mengingatkan kelakuan yang terkadang menggila, atau tak segan-segan senior mengumpulkan kami untuk sekedar mendengar ocehan nasihat mereka berebut perhatian dengan dingin malam, kaki pegal dan gigitan nyamuk. Kalau tak cukup nasihat yang diberikan masih ada korvei supaya jera kami berbuat nakal atau sekedar untuk jaga kebersihan katanya.

Kami terkadang juga melakukan pesta adat, pesta ulang tahun yang sederhana dengan menceburkan kawan yang berulang tahun ke dalam kolam tanah yang dasarnya lumpur. Perlu usaha keras untuk menyeret-nyeret si ulang tahun ke dalam kolam. Dan usaha keras pula untuk si ulang tahun mencuci baju yang penuh lumpur.

Jika rindu rumah datang, banyak kawan yang bisa menampung keluh-kesah rindu. Atau curahan hati saat cinta ditolak atau harus bersaing dengan senior. Mojok berbincang dengan lawan jenis kadang menjadi sumber masalah. Entah benar nenek bilang itu berbahaya[2] atau hanya sekedar kecemburuan belaka.

Tapi tak ada yang tak terselesaikan di asrama, sama seperti di Huma Betang. Kami senang bersama, sedih bersama dan menciptakan kenangan bersama.

***

[1] Judul lagu Dialog Dini Hari-Aku Adalah Kamu

[2] Lirik lagu Marilah Kemari-Titiek Puspa

Sumber Gambar:

Huma Betang: https://folksofdayak.wordpress.com/2013/12/11/jenis-rumah-dayak-ngaju/
Sapundu: https://jurnaltoddoppuli.wordpress.com/2014/09/12/sapundu-dan-tari-dayak-kalteng/
Sandung: http://www.travelmatekamu.com/2015/04/27/sandung-ngabe-sukah-peninggalan-pendiri-kota-palangka-raya/

Ditulis Oleh: @mahanova__
Diambil Dari: https://rabureta.wordpress.com/2015/09/22/huma-betang/

3 comments

Write comments

PosCinta. Powered by Blogger.