Di Balik Jalanan Sleman
Sehari-harinya saya beraktivitas dengan kendaraan pribadi. Ya, sebuah sepeda motor jadul keluaran tahun 90-an. Mengapa saya memilih berkendara sendiri, bukan dengan menggunakan angkutan umum? Karena sampai sekarang Sleman belum menjadi wilayah dengan angkutan umum yang bagus. Beberapa tahun terakhir malah terjadi penurunan kualitas dan kuantitas. Untuk poin kedua ini, saya amati dari angkutan umum Jogja-Kaliurang, yang terdekat dari tempat tinggal saya.
Dulu, jaman saya masih duduk di bangku SMA (sekitar tahun 90-an akhir hingga 2000-an awal), saya adalah pengguna angkutan umum Jogja-Kaliurang. Paling lama 15 menit menunggu untuk bisa mendapat angkutan menuju kota Yogyakarta. Tidak buruk, tetapi tetap saja memakan waktu. Rasanya tiap berangkat ke sekolah seperti orang dikejar anjing,kemrungsung (= tidak tenang karena tergesa-gesa).
Bukan apa-apa, jumlah angkutan kala itu boleh dibilang masih cukup, meski kadang-kadang penumpang, yang kebanyakan adalah siswa, harus berdiri berdesakan. Berbahaya, tapi kalau sudah dikejar waktu, apa boleh buat? Belum lagi, jika angkutan yang ditumpangi terlalu sering berhenti atau ngetem. Duh, bisa-bisa terlambat dan harus lapor ke guru piket untuk meminta izin masuk.
Hari ini apa kabarnya angkutan Jogja-Kaliurang? Trayeknya masih tetap ada, tetapi jumlah armada justru menurun ketimbang15 tahun lalu. Mengapa? Alasan utama tentu karena penduduk Sleman merasa lebih luwes, praktis, dan efisien waktu dengan menggunakan kendaraan pribadi, termasuk saya. Tentunya, bisa dilihat, dong, akibat yang ditimbulkan. Hmm, kadang merasa bersalah juga, tapi … kalau dipikir merasa bersalahnya, urusan saya tidak beres. Dilema.
Foto di atas saya ambil di salah satu jalan di Kecamatan Depok (sekitar kampus Universitas Gadjah Mada) beberapa hari lalu. Pemandangan semacam ini jamak terjadi beberapa tahun terakhir, terutama di jam-jam bubaran kantor. Sleman dan macet? Ya, sekarang tidak perlu ke Jakarta atau ke kota besar lain untuk bisa merasakan kemacetan. Pfiuh!
Kadang kala saya memilih untuk mencari jalan alternatif. Memutar lebih jauh, mencari jalan tikus agar bahan bakar tidak terbuang percuma. Iya, itu semua karena sering berhadapan dengan macet. Jadi, apa saya mesti berterima kasih kepada kemacetan ini? *eh
Yang masih tetap saya syukuri adalah suasana lalu lintas jalan yang makin ke pinggiran, makin sepi. Memangnya masih ada daerah di Sleman yang lengang? Ada, banyak malah. Untuk menikmati suasana seperti ini ada syaratnya. Yaitu, harus berani meninggalkan jalanan yang dekat dengan kota. Misalnya, foto berikut ini. Saya mengambilnya di daerah Ngemplak.
Sebagian besar jalanan di Kecamatan Ngemplak membentang di daerah pertanian (istilah kami: bulak). Jangan harap bisa menemukan angkutan umum di jalanan ini dengan mudah. Yang ada, kendaraan pribadi yang melintas, itu pun bisa dihitung jari. Kadang kala, malah truk-truk besar yang lewat. Satu hal yang saya sayangkan, sopirnya sering ngebut sesukanya karena tahu tidak punya saingan. Ckckck. Astaghfirullaah, kalau saya sedang kurang sabar dan berpapasan dengan sopir macam begini, saya akan misuh-misuh dan mengomentari mereka dari balik helm,
“Iki dalane mbahmu, po?!”
(“Apa ini jalanan punya nenek moyangmu?!”)
Jawabannya tentu bukan. Jalanan adalah fasilitas umum. Tiap pengguna tentu sudah semestinya mengerti dan melaksanakan etika berkendara. Idealnya begitu. Faktanya? Angka kecelakaan lalu lintas di Sleman masih termasuk tinggi, terutama pengendara sepeda motor.
Ya, inilah pekerjaan rumah yang tidak mudah untuk Pemkab Sleman dan kami semua warga Sleman. Bahwa berlalulintas, berkendara harus tetap memerhatikan safety riding diri maupun pengguna lain; serta selalu eling untuk menjunjung tinggi tepa selira, sebagaimana nilai yang diwariskan oleh leluhur kami.
Ditulis oleh: @phijatuasri
Di Balik Jalanan Sleman
Diambil dari: https://asree84.wordpress.com/2015/09/21/di-balik-jalanan-sleman/