Belajar Menghargai Pekerjaan Orang
"...Di ujung gang tersebut, ada seorang ibu, single parents yang memiliki tiga anak," ucap seorang bapak di pos ronda. Saya mengenalnya, Pak S ini pernah jadi ketua RT kami di masanya dulu, lima belas tahun silam. Saat itu, kebetulan saya sedang menunggu ojek, tapi Pak S tidak ngeh dengan keberadaan saya, jadi saya berdiri tak jauh dari pos dan mendengarnya, begitu saja.
"Ohh, dari RT suka dikasih bantuan atau santunan? Kasihan banget, ngurus tiga anak sendirian," sambung kawan bicara Pak S, yang entah siapa. Nadanya tidak terdengar mengiba, lebih mirip merendahkan. Lalu terdengar tawa dari Pak S.
"Untuk apa dikasih santunan, pak? Dua aanaknya sarjana, yang satu sebentar lagi sarjana. Itu ibu, biar ngurus anak sendiri, masih mampu biayain hidup anak-cucunya."
"Memang pekerjaannya apa, pak?"
"Penjahit."
Penjahit. Kelihatannya pekerjaan ini sepele dan mudah, ya? Saya juga dulu berpikir pekerjaan itu biasa saja dan rendahan. Tapi, mengingat ada seorang ibu di komplek kami, di kota Cibinong ini, yang mana beliau bekerja sebagai penjahit, saya jadi belajar menghargai apa pun pekerjaan yang dilakukan orang .
Jadi,
Mari saya ceritakan salah satu pekerjaan seorang warga di Cibinong.
Sebetulnya bukan pekerjaan menjahitnya sih, yang mau saya ceritakan. Kita sebut ibu ini, Bundo. Begitu orang memanggilnya. Semuanya dari mamang ojek, ibu-ibu komplek, abang-abang di kios pasar, dan semua di wilayah Cikaret (bagian kecil dari Cibinong) manggilnya Bundo. Buat saya, salah satu pekerjaannya yang paling asik itu ketika beliau di Kelurahan. Tugasnya ngurus Posyandu dan kadang, semua pekerjaan ibu-ibu PKK beliau yang urus. Waktu saya tanya berapa gajinya kerja di sana, jawabnya, "Surga Allah."
Ternyata, kontribusi jadi pelayan masyarakat itu kerjanya susah tapi asik. Ngeluarin banyak tenaga tapi bermanfaat. Sebelum lebaran kemarin, beliau disibukkan dengan mendata warga se-RW, dan ternyata nggak mudah, lho. Tapi seru sih, buat saya. Kamu tahu serunya di mana? Saya jadi bisa intip pekerjaan tiap warga melalui data tersebut :D
Saya persempit wilayahnya, ya. Yang saya bahas ini di salah satu kelurahan di Cibinong, yaitu Kelurahan Harapan Jaya. Di sini, warganya masih rukun tetangga dan penuh kerja sama. Masih suka gotong royong dan aktif kegiatan ke-tetangga-an. Nah, dari data yang Bundo punya itulah, saya tahu. Walaupun penduduknya pekerja kantoran, wiraswasta, dan pedagang, mereka masih tetap aktif di lingkungan.
Contohnya nih. Setiap enam bulan sekali selalu ada fooging. Terusnya ada iuran uang kematian. Ada juga uang ronda 2000 rupiah per minggu. Ada iuran uang sampah per bulan. Dan juga posyandu yang rutin suka bagi-bagi vitamin A. Kegiatan ini didukung oleh kelurahan, RW, dan juga RT setempat. Dan di sini, Bundo (dan beberapa pengurus lain) yang mengurus itu semua. Dan masih banyak orang yang menyepelekan tugas tersebut.
Waktu saya tanyakan kenapa mau mengerjakan pekerjaan tersebut, Bundo bilang, sibuk di sana membuatnya dekat dengan masyarakat.
Kenapa di judulnya saya tulis belajar menghargai pekerjaan orang?
Karena saya tahu, Bundo itu hampir tidur cuma tiga sampai empat jam selama semingguan saat mengurus kegiatan kependudukan, dan lebih dari itu, beliau tetap menjahit orderan setiap hari, plus masih sempat mengurus anak-cucunya. Udah boleh sombong belum? Hahaha.
Point-nya bukan buat sombong sih, tapi, maksud saya, pekerjaan sekecil apa pun harus kita hargai. Karena, selalu ada keringat (mungkin juga air mata?) di setiap pekerjaan yang nggak pernah kita lihat.
Perempuan memang diciptakan menjadi hebat, bukan? :)
Oh, ada yang terlupa.
Bundo is my mom. :)
oleh @unidzalika
diambil dari http://www.unidzalika.com/2015/09/belajar-menghargai-pekerjaan-orang.html