A Siger Short Story
“Ini apa? Unik ya bentuknya.”
“Ini bentuk Siger. Makanya tugu ini dinamakan Tugu Siger.”
“Ini bentuk yang sama dengan ornamen yang aku lihat di setiap depan pagar dan bangunan toko dan kantor di sepanjang jalan kota ini, kan?”
“Iya. Kamu memperhatikan juga ya rupanya. Jadi, di Lampung ini, khususnya di Kota Bandar Lampung, ada peraturan daerah yang mewajibkan setiap bangunan baik toko maupun kantor pemerintah dan swasta yang berada di pinggir jalan utama kota untuk memasang ornamen siger di pintu gerbang atau di atas pintu masuk bangunan.”
“Kenapa?’
“Untuk melestarikan budaya, dan sebagai ciri khas kota. Apa lagi coba?”
“Hmmm…Iya sih. Jadi ciri khas banget. Eh tapi, sebenarnya siger itu apa sih?”
“Siger itu semacam mahkota. Dipakai oleh pengantin perempuan dalam pernikahan adat Lampung.”
“Pengantin perempuan? Kalau pengantin laki-laki pakai apa?”
“Ada juga, bentuknya berbeda sih. Masyarakat Lampung menyebut namanya berbeda-beda, tapi sebagian besar menyebutnya Kopiah Emas. Mungkin karena bentuknya mirip kopiah, tapi dengan bagian atas yang meruncing. Di sebelah selatan jalan ini nanti ada Tugu Kopiah Emas, nanti kita lihat ke sana, deh.”
“Oh begitu. Tapi, aku heran kenapa hanya siger yang dijadikan semacam maskot dan ciri khas? Kenapa siger perempuan yang ditonjolkan? Bukan yang untuk laki-laki?”
Aku berpikir sebentar, sedikit bingung harus menjawab apa karena aku pun sebenarnya heran dengan fakta tentang kenapa siger yang aksesoris adat untuk perempuan yang dijadikan ciri khas.
“Mungkin karena bentuknya lebih unik, dan satu-satunya di Indonesia. Daerah lain tidak ada yang mempunyai ornamen adat seperti siger Lampung ini.”, aku menjawab dengan ragu-ragu.
“Iya. Tapi, kenapa mesti mahkota adat perempuan ya?”
“Entahlah. Mungkin karena adat Lampung sangat menjunjung tinggi keberadaan dan peran perempuan dalam keluarga dan masyarakat. Perempuan sebagai ibu, dan sosok yang harus dimuliakan. Mungkin karena perempuan sebagai lambang keindahan.”, jawabku panjang lebar sekenanya.
“Hahaha… Iya deh. Mungkin karena itu alasannya ya. Sampai-sampai siger Lampung tidak hanya dipakai oleh pengantin perempuan, tapi juga bertebaran di penjuru kota, dan dibangun tugu sebagai bentuk penghormatan.”
“Bisa jadi.”, aku menggumam singkat.
“So, kamu sebagai orang Lampung sangat memuliakan perempuan juga kah?”
“Hahaha… Tentu saja. Sudah jelas, kan?”
Dia memandangi bangunan Tugu Siger yang cantik di depannya. Tugu yang menjadi salah satu ciri khas kota Bandar Lampung. Sesekali dia sibuk mengabadikan tugu Siger ini lewat kamera ponselnya.
“Mau kuambil fotomu di depan Tugu Siger ini?”, tanyaku.
“Iya dong, harus. Walau mungkin aku tidak akan punya kesempatan memakai siger asli, paling tidak aku pernah berfoto di depan tiruannya, siger raksasa ini.”, dia menyambut tawaranku sambil tertawa kecil.
Setelah mengambil fotonya dalam berbagai pose, kami mendekat ke bangunan Tugu Siger dan duduk di deretan tangga di depannya. Duduk tanpa bicara, dan sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Jadi, perempuan yang menikah dengan lelaki Lampung nanti akan mengenakan siger saat melangsungkan pernikahan?”, tanyanya tiba-tiba memecah keheningan.
“Iya. Biasanya begitu.”
“Apakah aku akan punya kesempatan memakai siger di hari pernikahanku?”
“Pastinya. Kalau kamu menikah dengan orang Lampung.”
“Kalau aku menikah denganmu, nanti aku pakai siger dong?”
“Hmmm…entahlah. Sampai sekarang sih, belum pernah ada kejadian saat pernikahan kedua pengantinnya sama-sama memakai siger.”, jawabku pelan-pelan.
Dia tersenyum memandangku. Aku balas tersenyum. Kemudian kami kembali terdiam.
Oleh: @dennyed
Diambil dari: https://dennyed.wordpress.com/2015/09/02/a-siger-short-story/