Tentang Bandung: [3] Kisah dari Tiga Pasar

00:30 0 Comments A+ a-

Sampai jumpa dunia, ku ‘kan pergi sementara

Jangan kau bimbang

Kapanpun ku akan pulang

Sebagai introver, kerumunan adalah salah satu hal yang paling saya hindari. Semakin banyak orang berkumpul di satu tempat, semakin saya ingin menghindar dan kabur dari sana. Rasanya, energi saya cepat terkuras jika saya terimpit orang-orang asing. Entah itu di acara perpisahan, konser—meski saya menyukai atmosfernya, wisuda…

… dan pasar.

*



Pasar Cibogo di Sarijadi

Dulu, Mama sesekali mengajak saya dan adik berbelanja. Pasar Cibogo (di Sarijadi, bukan Cimahi) adalah pasar terdekat yang dapat dijangkau oleh kami. Letaknya hanya beberapa puluh meter dan bisa ditempuh dengan jalan kaki. Ketika itu, saya belum terintimidasi penuh dengan kerumunan dan, sebagai anak kecil, terpukau melihat mainan di mana-mana. Seperti sepotong surga.

Sekarang, saya masih tinggal di wilayah yang sama. Mama sudah jarang mengajak saya belanja ke pasar, tapi saya sering lewat ke sana setiap pagi. Melihat orang-orang melakukan transaksi jual beli atau sekadar menyapa kucing-kucing di luar lingkaran pasar. Saya masih menyukai suasananya, meski berusaha mati-matian supaya tidak terjebak di tengah kerumunan.

*







Di pusat kota, Pasar Baru menjadi primadona bagi penduduk Kota Bandung dan para pendatang. Berbeda dengan Pasar Cibogo, untuk berkunjung ke sana, saya harus naik angkot satu kali (jurusan ST. HALL – Sarijadi; warna biru muda) dan turun di stasiun kereta api, lalu perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki. Pasar Baru juga bukan pasar tradisional biasa karena sebagian pedagangnya berjualan di bangunan-bangunan besar.

Belanja ke Pasar Baru merupakan ritual menjelang lebaran. Di sana, saya dan keluarga biasanya mencari baju-baju bagus dengan harga murah. Saya hanya bisa bertahan setengah jam karena banyaknya orang-orang yang berdatangan ke tempat ini. Tapi, saya memaksakan diri untuk terus berjalan, karena sepertinya Mama dan adik saya punya tenaga ekstra untuk mendatangi toko-toko di Pasar Baru.

*



Sekitar dua tahun lalu, salah satu teman kuliah saya memutuskan untuk berhijab. Dia kemudian mengajak saya belanja pakaian yang akan dia kenakan setelah mengenakan jilbab nanti. Tempat tujuan kami adalah pasar kaget di sekitar Pusdai, Jalan Diponegoro. Pasar tersebut hanya ada di hari Jumat; mulai dari pagi hingga jam makan siang.

Setibanya di sana, hal pertama yang saya lakukan adalah menaruh dompet dan ponsel di tempat aman. Saya mengamati para pedagang tumpah ruah di jalan; menjajakan baju-baju hingga tas dengan harga miring. Sambil menunggu teman, saya menyisir pasar tersebut dari ujung satu ke ujung lainnya.

Dan, kalau saya tidak waspada dari awal, mungkin saya dan teman saya akan kecopetan. Sebab, saat kami sedang belanja, seorang pengunjung tampak panik dan bercerita pada seorang pedagang kalau dia baru saja kecopetan.

“Ya ampun, kayaknya aku juga nyaris kecopetan, deh,” ujar temanku. “Tadi ada bapak-bapak yang ngeliatin aku pas datang ke sini. Untung aku cepet-cepet ngumpetin si dompet.”

Nah, satu lagi alasan saya tidak suka berada di tengah kerumunan.

*

Meski pasar swalayan kian menjamur, pamor pasar tradisional sepertinya tidak akan pernah hilang. Semoga saja, saya masih sempat mengajak anak-anak saya belanja di sana, walau artinya saya harus bertahan di tengah kerumunan.

*

Ku ‘kan gapai dunia di atas sana, kapanpun ku tiba

Ku ‘kan bawa cerita, berbagi tawa

Terima kasih semua




(Sampai Jumpa – Homogenic)


Ditulis oleh: @erlinberlin13 
Diambil dari: https://erlinnatawiria.wordpress.com/2015/09/08/tentang-bandung-3-kisah-dari-tiga-pasar/

PosCinta. Powered by Blogger.