Pancakaki

00:01 0 Comments A+ a-

Time is a mystery

Space is a myth

Can’t be sure where you’re going

The darkness tells me nothing






Dalam masyarakat Sunda, pancakaki sudah menjadi ritual yang tidak bisa dilepaskan. Biasanya, saat bertemu orang baru, kami akan mengulik asal-usul orang tersebut. Keluarganya, tempat tinggal, sekolah, pergaulan…. Jika orang itu menyebutkan satu nama yang kami kenal atau sekilas tahu, kami otomatis akan bilang, “Eh, dia itu temennya sepupuku. Ternyata dunia sempit, ya.”

*

Mungkin pancakaki juga berlaku di suku atau etnis lain, tapi proses saling kenal ini begitu melekat bagi saya sebagai orang Sunda. Sejak kecil, saat berada di tengah family gathering, saya selalu mendengar obrolan-obrolan mengenai s A yang masih dari punya hubungan darah dari keluarga B, atau si C yang ternyata saudara jauh dari D. Bahkan, salah satu kakak ibu saya menikahi perempuan yang masih kerabat (sangat) jauh dari keluarga adik nenek.

Namun, karena (lagi-lagi) introver, saya tidak terlalu peduli jika si A ternyata masih punya ikatan saudara dengan saya. Saya juga sering ditegur jika tidak salim dengan tetua yang disebut aki di tengah keluarga. Untuk formalitas dan sopan-santun, saya seringnya hanya cium tangan atau setor wajah sebentar saat keluarga besar sedang berkumpul, lalu menghilang ke tempat sepi. Maka, tidak heran jika saya kurang dikenal oleh anggota keluarga lainnya.

I haven’t seen them before, so why should I care?

*

Kemudian, dua tahun silam, saya mencatut nama Natawiria yang tercantum di nisan kakek  untuk nama pena. Dan, ya, saya tidak tahu siapa sosok Natawiria ini. Saya pikir, almarhum adalah tetua dari pihak ibu; buyut saya jika almarhum ayah dari ibu. Setelah itu, novel debut saya lahir dengan nama itu tercantum dan tersebar ke tengah publik.

Pada bulan-bulan pertama sejak novel tersebut terbit, saya belum merasakan impact yang amat besar dari nama pena selain respons pembaca di media sosial.  Hingga kemudian, ibu memberi kabar tentang tanggapan keluarga Natawiria tentang nama pena saya.

Tunggu, saya terkejut, mereka masih ada?

Ternyata, Natawiria bukan sekadar nama buyut saya, tapi juga sebuah keluarga besar dari pihak kakek. Dari obrolan ibu dengan kerabat dari keluarga tersebut, mereka tidak keberatan saat tahu saya menggunakan Natawiria sebagai nama pena (syukurlah, saya tidak tahu harus berbuat apa kalau mereka malah balik menuntut saya).

Salah satu keturunan dari keluarga Natawaria memberitahu jika buyut saya adalah seorang prajurit di masa perang, guru bahasa, dan seniman. Sejak saat itu, beberapa anggota dari keluarga Natawiria menghubungi saya melalui media sosial dan menunjukan apresiasi mereka terhadap karya saya.
Oke. Pancakaki nyatanya tidak semenyeramkan yang saya pikirkan selama ini.

*



Kendati begitu, saya masih sedikit terintimidasi saat berada di tengah family gathering. Saya tidak bisa sembunyi lama-lama lagi, sebab pasti ada satu atau dua orang kerabat yang menanyakan perihal kelanjutan karya saya. Saya juga kadang menelusuri dari mana nama Natawiria berasal.
Karena, bagaimanapun juga, sekarang saya telah membawa nama keluarga dan harus menjaganya baik-baik ke manapun saya pergi.

*

We’re walking on a different tracks 

Heading to a different space and time


And I can see you’re doing okay

(Telescope – Hollywood Nobody)

Ditulis oleh: @erlinberlin13
Diambil dari: https://erlinnatawiria.wordpress.com/2015/09/23/tentang-bandung-8-pancakaki/

PosCinta. Powered by Blogger.