Obrolan Privat di Ruang Publik

09:56 0 Comments A+ a-

“Idealnya ya, setiap kota itu harus menyediakan minimal 30 persen dari luas kotanya untuk digunakan sebagai ruang terbuka hijau. Yang 20 persen untuk ruang terbuka publik, yang 10 persen untuk ruang terbuka privat.”

Aku terus menatap cowok di sebelahku yang terus mengoceh tanpa henti.

“Ruang terbuka publik untuk bisa diakses semua orang, umum, bagian dari lahan kota. Contohnya nih ya, taman kota, alun-alun, lapangan bola, stadion. Nah, kalau ruang terbuka privat itu ruang terbuka di masing-masing rumah. Jadi setidaknya ya, setiap rumah itu diwajibkan punya halaman.”

“Ah, itu sih bisa-bisanya kamu saja,” komentarku.

“Lho, ada peraturan perundangannya, kok. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum tahun 2008 kalau nggak salah, tentang pedoman pemanfaatan ruang terbuka di kawasan perkotaan. Coba deh kapan-kapan kamu googling.”

Aku tersenyum geli memandangnya, “Iya, iya, aku percaya kok sama kamu.” Kadang dia itu terlalu serius. Apalagi kalau sudah mulai mengoceh tentang ilmu perencanaan kota yang dipelajarinya di bangku kuliah. Mendengarnya bercerita seperti tadi dengan semangat mudanya, aku sudah senang kok.

Sore ini kami berdua duduk di bangku keramik bulat ala Cina di bawah rindangnya pohon beringan raksasa di halaman kompleks Kelenteng Sam Poo Kong, sebuah rumah ibadah yang menjadi salah satu tujuan wisata di Kota Semarang. Lokasinya tidak jauh dari Bandara Ahmad Yani, cukup mengarah ke timur, naik kendaraan sekitar sepuluh menit juga sudah sampai.

Walaupun fungsi utamanya sebagai rumah ibadah, Sam Poo Kong selain sebagai obyek wisata unggulan kota, juga dimanfaatkan sebagai ruang publik. Semua orang dapat masuk dan menikmati keindahannya cukup dengan membayar tiga ribu rupiah saja perorangnya. Bangunannya dominan warna merah dengan luas lebih dari satu hektar. Tempat ini dulunya merupakan pendaratan pertama seorang Laksamana dari Tiongkok bernama Cheng Ho. Walaupun kemudian tempat ini digunakan sebagai tempat sembahyang masyarakat Kong Hu Cu, Laksamana Cheng Ho sendiri adalah seorang muslim yang turut berperan dalam menyebarkan agama Islam di Kota Semarang.

Kelenteng Sam Poo Kong baru saja selesai menjalami proses renovasi yang konon dananya diberikan langsung oleh Pemerintah Tiongkok karena menganggap tempat ini juga merupakan bagian dari sejarah mereka. Bangunan utama tempat sembahyang, altar, dan makam seorang teman Cheng Ho menempati area khusus di bagian kanan. Area tersebut tidak bisa diakses oleh masyarakat umum dan hanya bisa diakses khusus untuk umat yang ingin beribadah. Sementara area terbukanya di bagian tengah hingga bangunan depan semacam hall dapat diakses umum.  Tersedia musala yang juga berarsitektur khas Tiongkok di bagian ujung kiri. Di lapangan tengah, berdiri patung Cheng Ho berukuran raksasa tepat di samping gerbang rakasasa berwarna merah.

Setiap kali ke sini, aku selalu ingin mencoba berfoto dengan pakaian khas kekhaisaran Tiongkok yang disewakan pengurus setempat seperti turis pada umumnya. Menggunakan pakaian putri Tiongkok berwarna-warni dengan mahkota kebesaran berhias bunga seperti di film Cina dan berfoto di depan megahnya altar sembahyang. Hasilnya, orang-orang pasti mengira aku tengah berwisata ke Beijing.

Masyarakat yang datang ke sini tidak hanya umat yang beribadah, wisatawan tapi juga mereka-mereka yang sekadar ingin duduk mengobrol menghabiskan sore. Bapak-bapak tua datang ke sini setelah bersepeda, menikmati indahnya lampion yang bergantungan mengelilngi area pohon beringin. Banyak remaja sekolah yang datang ke sini sekedar untuk berfoto dan menghabiskan waktu dengan duduk bergosip di bawah jajaran bangku yang tersedia di bawah pohon beringin raksasa ini seperti kami. Atau seperti sepasang orang tua yang duduk di dekat kami, datang ke Sam Poo Kong untuk bersantai sekaligus untuk membujuk anaknya yang terus berlarian ke sana kemari agar mau makan.

Seperti yang ia katakan, ruang publik harus ada di setiap kota sebagai wadah masyarakat untuk saling berinteraksi, berkumpul menghabiskan waktu bersama dengan tawa. Tempat untuk melepaskan bahagia, meluapkan tangis, merenung, bercengkrama dengan sesama, menikmati pemandangan, dan bertemu dengan kesayangan.

image
image

“Kamu, tumben mengajak bertemu di tempat publik begini, kan dilihat banyak orang. Sudah siap mengajakku go public?” tanyaku.

Ia tersenyum. “Seharusnya aku bisa sering-sering mengajakmu ke tempat publik begini. Karena prosentase publik itu kan lebih besar daripada privat. Sudah lima tahun tapi kita selalu bertemu di tempat privat. Hehe.”

Aku hanya tersenyum menanggapi candaannya. Lucu, tapi membuat hatiku teriris.

“Idealnya, apa aku cuma bagian dari 30 persen hidupmu, ya? Dan kamu juga boleh mengisi hidupku sebanyak 30 persen walaupun hatiku seratus persennya untuk kamu. Begitu, anak muda?” Pertanyaan bodoh yang kulontarkan hari ini. Sungguh, aku tidak ingin mendengar jawabannya.

Diam terdiam, memandang lama ke arah anak-anak kecil yang berlarian di sekitar kami.

“Jangan begitu,” katanya pelan. “Jangan kamu berikan seratus persen hatimu buatku. Kedua anakmu dan juga suamimu lebih berhak menerimanya. Si kecil sudah mulai masuk SD, kakak sudah mau lulus SMP, mereka butuh waktu lebih banyak bersama Ibunya.”

Belum sempat aku berkomentar atas jawabannya, ponselnya berbunyi, nama bosnya di kantor tertera di layarnya. Nama suamiku.


oleh  @andhkctra
diambil dari http://chaznologic.tumblr.com/post/128306179954/obrolan-privat-di-ruang-publik

PosCinta. Powered by Blogger.