Kuyang
1
Umai sudah berumur lanjut tapi rupanya masih cantik mempesona. Kulitnya putih berkilau, wajahnya bersih tanpa noda, badannya ramping walaupun telah memiliki lima orang anak. Umai yang kembang kampungnya itu sudah berumur 50an itu masih tampak seperti gadis remaja 20an saja. Semua lelaki tak bisa mengedipkan mata jika Umai lewat di depan mereka.
Tapi tak semua senang dengan harumnya kembang kampung yang mempesona ini. Ibu-ibu selalu saja menggunjingkan tanda iri hati mereka terhadap Umai yang selalu tampak lebih muda dan segar, tak seperti mereka yang walaupun sudah perawatan luar dalam masih juga tak mampu melawan usia yang datang lamat-lamat.
“Bu Umai sudah 50an kok masih cantik muda seperti anak ABG 20an ya? Apa kira-kira resep beliau?”
“Iya ya, kok bisa sih awet muda. Saya yang sudah perawatan sana-sini juga nggak bisa tampak semuda itu juga.”
“Mungkin bu Umai pake susuk kali ya.”
“Jangan-jangan bu Umai kuyang!”
“Ah, masa sih. Masa zaman sekarang masih ada kuyang?”
“Iya, bu Umai mungkin memang hanya dukun biasa kok.”
“Eh, bisa saja bu. Lihat saja bu Umai sehari-hari. Pakaiannya tertutup. Dia juga selalu menggunakan selendang di lehernya. Pasti itu untuk menutupi tanda di lehernya.”
“Masa sih, seram betul kalau bu Umai kuyang.”
“Wah, bahaya dong kampung kita.”
Sementar Umai sendirian di kamarnya, telanjang mengagumi setiap lekuk tubuhnya yang rupawan. Kulit tubuhnya putih dan halus bersinar. Buah dadanya seperti dua anak rusa [1] ranum, kencang dan menggoda. Betapa cantik dirinya dan seakan tak pernah puas dirinya mengagumi bayangannya di cermin.
Terdengar suara ketukkan di pintu kamarnya disusul suara anaknya Indu memanggil. Ada dua lelaki menunggu di ruang tamu. Salah satunya patah kaki, sehabis kecelakaan motor. Memang Umai adalah seorang dukun. Berbagai macam luka biasanya dapat diobatinya. Dari luka kecil tersayat sampai patah tulang yang kata dokter tak dapat disambung lagipun bisa diobatinya. Segera Umai mengenakan pakaiannya tak lupa menyampirkan selendang mengelilingi lehernya yang jenjang kemudian segera keluar kamar menemui tamunya.
Umai meladeni lelaki yang patah kakinya itu. Diraba-rabanya bagian yang patah dan lelaki itu hanya bisa meringis menahan sakit. Umai mengeluarkan botol kaca bening berisi minyak, paku, dan kapas. Umai mengeluarkan paku yang ada dalam botol, kemudian dengan tangan kanannya mengusapkan paku itu ke bagian yang kaki lelaki yang patah itu searah jarum jam sebanyak tiga kali dengan sabar. Lelaki itu dengan tenang menikmati perlakuan Umai terhadap kakinya. Selain itu menurut lelaki itu, Umai terlalu cantik untuk jadi seorang dukun.
Setelah tamunya pulang, Indu mendekatinya mengajak berbincang.
“Ibu, minyak apa yang ibu gunakan untuk mengobati lelaki tadi. Yang terdapat paku dan kapas juga di dalamnya. Dan sepertinya tak pernah habis, atau memang ibu punya banyak?” Pertanyaan Indu tak habis-habis diliputi rasa penasaran kepada ibunya.
Umai mengeluarkan botol kaca bening kecil yang digunakannya tadi untuk mengobati patah tulang lelaki yang baru saja pergi.
“Ini namanya minyak bintang. Ini minyaknya orang Dayak. Hanya orang tertentu saja yang bisa membuatnya dan hanya orang tertentu saja yang bisa memilikinya.”
“Minyak ini digunakan untuk menyembuhan semua luka. Minyak ini juga bisa membuat orang kebal terhadap apapun jika diminum. Minyak ini membuat orang tidak bisa mati. Jika orang yang meminumnya bisa memuntahkan kembali minyak ini barulah dia bisa mati.” Lanjut Umai lagi dan Indu dengan antusias mendengarkan penjelasan ibunya.
“Dengan minyak ini juga ibu bisa tetap awet muda bahkan bisa hidup abadi.”
“Oh, jadi karena minyak ini ibu tetap cantik seperti sekarang?” Indu kemudian tergoda mengnginkan kemudaan seperti ibunya. “Bagaimana caranya tetap awet muda dengan minyak ini bu?”
“Dengan minyak ini ibu menjadi kuyang.” Kemudian Umai menarik selendang yang menutupi lehernya. Terlihatlah tanda seperti garis tipis seperti bekas sayatan di sekeliling leher Umai.
“Ibu adalah kuyang?”
Pantas saja ibunya awet muda, ternyata ibunya adalah kuyang. Tapi kemudian Indu tergoda, ingin juga dia tetap muda seperti ibunya.
“Bu, bolehkah aku minta minyak bintang ini?”
“Untuk apa Ndu?”
“Aku juga ingin seperti ibu, awet muda walaupun harus menjadi kuyang.”
“Kalau ingin memiliki minyak ini, kamu harus memberikan barang berharga seperi koin perak atau jarum emas. Minyak ini memilih sendiri kepada siapa dia akan dimiliki”.
“Bagaimana minyak bintang bisa memilih si empunya?”
“Jika minyak ini tidak ingin dimiliki seseorang minyak ini akan habis menguap dan hanya meninggalkan botol kosang saja. Tapi jika kamu orang yang dipilihnya untuk menjadi empunya maka seperti minyak yang ibu miliki ini, iya tak akan pernah habis walaupun dipakai berulang kali ataupun dibagi-bagikan.”
Kemudian belajarlah sang anak menjadi kuyang dengan ibunya sendiri. Dengan bentuk yang hanya kepala dan saluran pencernaannya saja, Indu akhirnya pergi terbang melayang-layang di udara malam dalam bentukkuyang mencari ibu-ibu yang akan melahirkan untuk meminum darah nifas yang keluar bersama bayi yang baru dilahirkan. Badan yang menutupi saluran pencernaannya sehari-hari ditinggalkannya. Itulah yang harus dilakukan oleh kuyang sebagai syarat agar ia tetap awet muda, meminum darah nifas. Malam itu Indu pergi menjadi kuyang.
Sebelum Indu pergi ibunya berpesan, jauhi bawang atau ijuk. Karena semua kekuatan dan kesaktiannya tak akan berarti jika ada benda-benda tersebut di sekitar.
2
“Di, ini mama lagi di taksi ngantar Lala ke rumah sakit, perutnya mulas dan sudah ada bercak. Kamu nyusul ke rumah sakit aja ya.”
“Iya ma, iya. Tapi Lala baik-baik aja kan?”
“Cuma sempat panik aja tadi, sekarang sudah tenang kok. Cepat nyusul ke rumah sakit ya.”
“Iya ma, ini langsung berangkat.”
Lala melahirkan bayi cantik yang menawan semua terharu mendengar teriakan bayi mungil itu. Dan baris azan yang dibisikan di telinga saat tangisan pertama [2] bayinya oleh Adi yang baru beberapa detik lalu menjadi seorang ayah. “Jadilah seperti ibumu, perempuan yang tangguh.” Lanjut bisikan Adi kepada bayi mungilnya itu kemudian.
Sudah sebulan berlalu. Lala masih meminum obat dan antibiotik untuk pendarahannya saat melahirkan lalu. Namun anehnya darah nifasnya tak henti-henti juga. Padahal sudah sebulan lalu dia melahirkan. Adi mulai mencemaskan keadaan Lala yang semakin lemah karena pendarahan masih saja terjadi.
Suatu kali Adi membawa seseorang lelaki misterius ke rumah mereka. Tampangnya seperti lelaki kampung dengan pakaian yang warnanya sudah pudar. Lelaki ini terus saja mengoceh sendirian dengan bahasa yang terkadang dimengerti, terkadang tidak. Dia seperti mengoceh dengan seseorang tapi tak ada seorangpun yang ada di sekitarnya. Lelaki itu kemudian memberikan Lala segelas air putih untuk diminum.
Kemudian Lala merasa sakit kepala tak terkira. Kemudian disusul sakit perut yang luar biasa. Lelaki misterius yang memberi Lala minum tadi seakan tak berdosa mengatakan bahwa Lala sakit karena air yang diberikannya. Lala tak sanggup menahan sakit perutnya kemudian pergi ke kamar mandi. Tak lama di kamar mandi terdengar jeritan histeris Lala. Lelaki misterius tadi dan Adi lalu segera menyusul ke kamar mandi. Sebongkah benda berbentuk kepala dengan rambut panjang berlumuran darah keluar dari perut Lala. Adi berusaha menenangkan Lala yang masih histeris melihat apa yang baru keluar dari tubuhnya itu. Dengan santainya lelaki misterius itu memungut bongkahan merah di lantai kamar mandi.
“Kuyang. Lengket di rahimmu.” Katanya datar kepada Lala yang masih pucat pasi di dalam pelukan Adi.
3
“Li, ini bawang merah tunggal dan cermin.”
“Bawang merah dan cermin buat apa bu?”
“Letakkan di samping bantal tidurmu.”
“Untuk apa?”
“Supaya jangan ada kuyang datang yang menghisap darah dan janinmu.”
“Oh. Ibu masih percaya ada kuyang jaman sekarang ini ya?”
“Ya, buat jaga-jaga kan nggak apa-apa. Dari pada ada apa-apa nantinya kemudian menyesal.”
Lili menerima duduk di sebalah ibunya. Menerima pemberian bawang merah tunggal dan cermin. Kemudian ibunya melanjutkan kisahnya.
“Kamu tahu kenapa di antara kamu dan adik mu tak ada yang lahir di Palangkaraya?”
“Tidak tahu. Oh ya, bukannya kata orang jika sedang hamil tidak boleh pergi-pergi, nanti kandungannya muda kembali?”
“Iya, kan kamu dan adikmu lahirnya harus diinduksi karena tak mau keluar, masih betah di perut ibu.”
“Terus kenapa ibu tetap memutuskan untuk pergi dan melahirkan di kota lain?”
“Ibu takut di Palangkaraya ini banyak kuyang. Bisa mati nanti ibu dihisap darahnya oleh kuyang. Seram. Makanya anak-anak ibu tidak ada yang lahir di Palangkaraya.”
“Oh.”
[1] Kidung Agung 4:5
[2] Terinspirasi dari lirik lagu Pusara-KarnaTra
*Cerita ini terispirasi oleh kisah dan pengalaman yang dialami seorang kawan dan ibu saya sendiri
Ditulis Oleh: @mahanova__
Diambil Dari: https://rabureta.wordpress.com/2015/09/16/kuyang/