Curhat Kesawan, Pusat Kota Medan
Woi, Wak! We, Lek! Gitulah kalo anak Medan menyapa temannya.
Jangan terlalu berharap dipanggil dengan nada lembut nan halus sama
muda-mudi kota ini, ramah versi kami ya, keras kek gitu! Ko terima
ajalah ya, Wak.
Kenalkan, namaku Kesawan. Baru kenal awak iya? Tapi, pasti kelen tau
kan, kota Parisj van Java itu ada di mana? Iya, di Bandung. Tapi, ini
kan, cerita anak Medan, jadi udah pasti yang dibahas soal Parisj van Sumatra. Nggak percaya ko, Lek?
Sebutan Paris sebagai kota paling elok di Eropa pada zaman kolonial saat itu, emang disematkan pada Medan karena rupanya yang maju dengan sederet bangunan bercorak art deco Eropa. Bukan bangunan berarsitektur Belanda aja, tapi juga bangunan-bangunan bergaya Inggris. Meskipun bentuknya nggak sebaik dulu, tapi sisa bangunan tua yang artistik tersebut masih bisa kelen tengok sikit-sikit sekarang ini. Cak tengoklah aku, Kesawan yang "katanya" bagian pusat kota Medan.
Sebutan Paris sebagai kota paling elok di Eropa pada zaman kolonial saat itu, emang disematkan pada Medan karena rupanya yang maju dengan sederet bangunan bercorak art deco Eropa. Bukan bangunan berarsitektur Belanda aja, tapi juga bangunan-bangunan bergaya Inggris. Meskipun bentuknya nggak sebaik dulu, tapi sisa bangunan tua yang artistik tersebut masih bisa kelen tengok sikit-sikit sekarang ini. Cak tengoklah aku, Kesawan yang "katanya" bagian pusat kota Medan.
Wajahku di tahun 1920-an
|
Wajahku di tahun 1931 |
Aku yang sekarang! (2012) |
Sementara itu, menurut Luckman Sinar (pemangku adat kesultanan Melayu
Serdang), Deli Maatschappij (perusahaan budidaya tembakau Deli yang
didirikan Jacob Nienhuys dan Peter Wilhelm Janssen pada 1869) memasukkan
kawasan Kesawan ke dalam konsesi Perkebunan Mabar Deli Tua (yang
sekarang ini ko sebut sebagai Kota Medan). Yang artinya, aku jadi
wilayah perkebunan dan kawasanku semakin berkembang!
Para etnis Tionghoa memperpanjang kontraknya sebagai pekerja kasar di
perkebunan. Mereka juga meminta sepetak tanah untuk membuka warung. Saat
itu, De Deli Maatschappij beranggapan, selagi masih tanah konsesi, tak
apalah. Tapi, kalo masa konsesi habis, maka habislah mereka.
Dibuatlah gambar kawasan dagang dengan nama Grand De Deli Maatschappij guna pemetaan wilayah dagang para eks kuli kontrak tersebut. Melihat keberhasilan pendahulunya, satu per satu kuli dari etnis Tionghoa pun meminta hak yang sama. Inilah yang bikin lokasiku diramaikan dengan kios-kios dagang bangsa Tiongkok. Mungkin, inilah awal kenapa aku digadang-gadang sebagai China Town-nya Medan. Pengusaha Tionghoa termahsyur yang paling populer adalah Tjong A Fie. Kalo ko mau tau tentang dia, nanti ada kawanku yang cerita, kok. Selooo....
Dibuatlah gambar kawasan dagang dengan nama Grand De Deli Maatschappij guna pemetaan wilayah dagang para eks kuli kontrak tersebut. Melihat keberhasilan pendahulunya, satu per satu kuli dari etnis Tionghoa pun meminta hak yang sama. Inilah yang bikin lokasiku diramaikan dengan kios-kios dagang bangsa Tiongkok. Mungkin, inilah awal kenapa aku digadang-gadang sebagai China Town-nya Medan. Pengusaha Tionghoa termahsyur yang paling populer adalah Tjong A Fie. Kalo ko mau tau tentang dia, nanti ada kawanku yang cerita, kok. Selooo....
Nggak cuma etnis Tionghoa aja yang mampir ke Medan, tapi juga
orang-orang India di abad ke-20. Kalo sekarang sih, mereka banyak yang
berdagang alat-alat olahraga. Makanya, jangan heran kalo mampir ke
Medan, banyak orang Tiongkok dan India di sini.
Berdatangan pula perusahaan-perusahaan asing. Mereka membuka berbagai
perkantoran, bank, perusahaan perkebunan, kantor pusat, perusahaan
pelayaran kapal-kapal asing, dan lain-lainnya hingga aku jadi penuh dan
menjelma sebagai pusat kota. Wajar sih, kalo aku ini bisa jadi bagian
daerah pusat kota. Soalnya, lokasiku berada dekat dengan sungai yang
akhirnya membuatku menjadi titik pertemuan perdagangan. Weseeeh, keren
kali aku, kan?
Waktu terus bergulir. Aku yang dulu pun telah berubah wujud kini. Tapi,
kelen masih bisa menikmati Medan kala itu di resto bernama Tip Top yang
ada di Jalan Kesawan. Bolehlah dibilang dia ini saksi bisu lambat
cepatnya perkembangan Kota Medan. Tip Top sendiri berdiri pada tahun
1929 di Jalan Pandu, kemudian berpindah ke Jalan Kesawan di tahun 1934.
Dulunya, ini adalah tempat orang-orang Belanda berkumpul untuk menikmati
santapan paginya atau sekadar ngopi cantek. Tentunya, kopi yang diminum
adalah Robusta yang terkenal dari Sidikalang itulah! Cak coba kalo
kelen ke Medan, singgah bentar ke Tip Top ini.
Kalo di Bandung lagi hits yang namanya Braga Culinary Night, sebenernya Medan udah duluan punya yang namanya Kesawan Square. Malam hari, kawasanku akan dipadati banyak penjaja kuliner. Sayangnya, Kesawan Square resmi ditutup di tahun 2007. Nggak tau aku alasan jelasnya apa. Tapi, ada yang bilang karena harga panganan yang dijual terlalu mahal dan ngebuat Kesawan Square jadi sepi pengunjung. Hiks... Sedih awak jadinya.
Kata Tegar, aku yang dulu bukanlah yang sekarang. Banyak toko-toko yang udah berganti pemilik, bahkan hilang dari wilayahku. Malahan, ada bangunan yang isinya burung walet. Kendaraan lalu-lalang, tapi pengendaranya hanya menganggapku sebuah jalan untuk sampai ke tempat tujuan. Misalnya, ko tanya pun warga Medan, masih banyak yang nggak tau aku ini bagian pusat kota. Padahal, aku ini awal kisah Kota Medan, bukan mal-mal atau gedung perkantoran itu.
Keapatisan penduduk membuatku hancur perlahan. Aku sadar, hidup harus terus berjalan meski aku terlupakan.
Ada mobil ko di situ? |
Oleh @tehpocii
Diambil dari http://www.diarykhansa.com/2015/09/curhat-kesawan-pusat-kota-medan.html